Saadat Padjadjaran
Ashadu sahadat islam,
Sarsilah gusti panutan,
Panut pangkon pangandika,
Kanjeng gusti rosul,
Anembah guru,
Anembah ratu,
Anembah telekon agama islam,
Syeh haji kuncung putih,
Kian santang
kan lumejang,
Kudrat yaa insun qursy Allah,



Susuci
Sri suci tunggal sabangsa,
Banyu suci tungggal sabangsa,
Geni suci tunggal sabangsa,
Braja suci tunggal sabangsa,
Suka suci mulya badan sampurna,
Sampurna kersaning allah ta'ala,
Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.

Translate

Rabu, 12 September 2012

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian VII

 Surawisesa Tidak Menampilkan Namanya Dalam Prasasti. Ia Hanya Meletakkan Dua Buah Batu Di Depan Prasasti Itu. Satu Berisi Astatala Ukiran Jejak Tangan, Yang Lainnya Berisi Padatala Ukiran Jejak Kaki. Mungkin Pemasangan Batutulis Itu Bertepatan Dengan Upacara Srada Yaitu "Penyempurnaan Sukma" Yang Dilakukan Setelah 12 Tahun Seorang Raja Wafat. Dengan Upacara Itu, Sukma Orang Yang Meninggal Dianggap Telah Lepas Hubungannya Dengan Dunia Materi. Surawisesa Dalam Kisah Tradisional Lebih Dikenal Dengan Sebutan Guru Gantangan Atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, Berasal Dari Kerajaan Tanjung Barat Yang Terletak Di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sekarang. Kinawati Adalah Puteri Mental Buana, Cicit Munding Kawati Yang Kesemuanya Penguasa Di Tanjung Barat.

 Baik Pakuan Maupun Tanjung Barat Terletak Di Tepi Ciliwung. Diantara Dua Kerajaan Ini Terletak Kerajaan Kecil Muara Beres Di Desa Karadenan [ Dahulu Kawung Pandak ]. Di Muara Beres In Bertemu Silang Jalan Dari Pakuan Ke Tanjung Barat Terus Ke Pelabuhan Kalapa Dengan Jalan Dari Banten Ke Daerah Karawang Dan Cianjur. Kota Pelabuhan Sungai Ini Jaman Dahulu Merupakan Titik Silang. Menurut Catatan VOC Tempat Ini Terletak 11/2 Perjalanan Dari Muara Ciliwung Dan Disebut Jalan Banten Lama [ Oude Bantamsche Weg ]. Surawisesa Memerintah Selama 14 Tahun Lamanya. Dua Tahun Setelah Ia Membuat Prasasti Sebagai Sasakala Untuk Ayahnya, Ia Wafat Dan Dipusarakan Di Padaren. Di Antara Raja-Raja Jaman Kerajaan Pajajaran, Hanya Dia Dan Ayahnya Yang Menjadi Bahan Kisah Tradisional, Baik Babad Maupun Pantun. Babad Kerajaan Pajajaran Atau Babad Pakuan, Misalnya, Semata Mengisahkan "Petualangan" Surawisesa [ Guru Gantangan ] Dengan Cerita Panji.

  Surawisesa Digantikan Oleh Puteranya, Ratu Dewata [ 1535 - 1534 ]. Berbeda Dengan Surawisesa Yang Dikenal Sebagai Panglima Perang Yang Perwira, Perkasa Dan Pemberani, Ratu Dewata Sangat Alim Dan Taat Kepada Agama. Ia Melakukan Upacara Sunatan [ Adat Khitan Pra-Islam ] Dan Melakukan Tapa Pwah-Susu, Hanya Makan Buah-Buahan Dan Minum Susu. Menurut Istilah Kiwari Vegetarian. Resminya Perjanjian Perdamaian Kerajaan Pajajaran-Cirebon Masih Berlaku. Tetapi Ratu Dewata Lupa Bahwa Sebagai Tunggul Negara Ia Harus Tetap Bersiaga. Ia Kurang Mengenal Seluk-Beluk Politik.

  Hasanudin Dari Banten Sebenarnya Ikut Menandatangani Perjanjian Perdamaian Kerajaan Pajajaran-Cirebon, Akan Tetapi Itu Dia Lakukan Hanya Karena Kepatuhannya Kepada Siasat Ayahnya [ Susuhunan Jati ] Yang Melihat Kepentingan Wilayah Cirebon Di Sebelah Timur Citarum. Secara Pribadi Hasanudin Kurang Setuju Dengan Perjanjian Itu Karena Wilayah Kekuasaannya Berbatasan Langsung Dengan Kerajaan Pajajaran. Maka Secara Diam-Diam Ia Membentuk Pasukan Khusus Tanpa Identitas Resmi Yang Mampu Bergerak Cepat. Kemampuan Pasukan Banten Dalam Hal Bergerak Cepat Ini Telah Dibuktikannya Sepanjang Abad Ke-18 Dan Merupakan Catatan Khusus Belanda, Terutama Gerakan Pasukan Syekh Yusuf. Menurut Carita Parahiyangan, Pada Masa Pemerintahan Ratu Dewata Ini Terjadi Serangan Mendadak Ke Ibukota Pakuan Dan Musuh "Tambuh Sangkane" [ Tidak Dikenal Asal-Usulnya ].

  Ratu Dewata Masih Beruntung Karena Memiliki Para Perwira Yang Pernah Mendampingi Ayahnya Dalam 15 Kali Pertempuran. Sebagai Veteran Perang, Para Perwira Ini Masih Mampu Menghadapi Sergapan Musuh. Di Samping Itu, Ketangguhan Benteng Pakuan Peninggalan Sri Baduga Menyebabkan Serangan Kilat Banten [ Dan Mungkin Dengan Kalapa ] Ini Tidak Mampu Menembus Gerbang Pakuan. Alun-Alun Empang Sekarang Pernah Menjadi Ranamandala [ Medan Pertempuran ] Mempertaruhkan Sisa-Sisa Kebesaran Siliwangi Yang Diwariskan Kepada Cucunya. Penyerang Tidak Berhasil Menembus Pertahanan Kota, Tetapi Dua Orang Senapati Kerajaan Pajajaran Gugur, Yaitu Tohaan Ratu Sangiang Dan Tohaan Sarendet.

  Kokohnya Benteng Pakuan Adalah Pertama Merupakan Jasa Banga Yang Pada Tahun 739 Menjadi Raja Di Pakuan Yang Merupakan Bawahan Raja Galuh. Ia Ketika Itu Berusaha Membebaskan Diri Dari Kekuasaaan Manarah Di Galuh. Ia Berhasil Setelah Berjuang Selama 20 Tahun Dan Keberhasilannya Itu Di Awali Dengan Pembuatan Parit Pertahanan Kota. Kemudian Keadaan Pakuan Ini Diperluas Pada Jaman Sri Baduga Seperti Yang Bisa Ditemukan Pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 Yang Isinya :

 "Sang Maharaja Membuat Karya Besar, Yaitu Membangun Telaga Besar Yang Bernama Maharena Wijaya, Membuat Jalan Yang Menuju Ke Ibukota Pakuan Dan Jalan Ke Wanagiri, Memperteguh Kedatuan, Memberikan Desa [ Perdikan ] Kepada Semua Pendeta Dan Pengiringnya Untuk Menggairahkan Kegiatan Agama Yang Menjadi Penuntun Kehidupan Rakyat. Kemudian Membuat Kaputren [ Tempat Isteri-Isteri-Nya ], Kesatrian [ Asrama Prajurit ], Satuan-Satuan Tempat [ Pageralaran ], Tempat-Tempat Hiburan, Memperkuat Angkatan Perang, Memungut Upeti Dari Raja-Raja Bawahan Dan Kepala-Kepala Desa Dan Menyusun Undang-Undang Kerajaan Pajajaran"

 Amateguh Kedatwan [ Memperteguh Kedatuan ] Sejalan Dengan Maksud "Membuat Parit" [ Memperteguh Pertahanan ] Pakuan, Bukan Saja Karena Kata Pakuan Mempunyai Arti Pokok Keraton Atau Kedatuan, Melainkan Kata Amateguh Menunjukkan Bahwa Kata Kedatuan Dalam Hal Ini Kota Raja. Jadi Sama Dengan Pakuan Dalam Arti Ibukota.

  Selain Hal Di Atas, Juga Lokasi Pakuan Yang Berada Pada Posisi Yang Disebut Lemah Duwur Atau Lemah Luhur [ Dataran Tinggi, Oleh Van Riebeeck Disebut "Bovenvlakte" ]. Pada Posisi Ini, Mereka Tidak Berlindung Di Balik Bukit, Melainkan Berada Di Atas Bukit. Pasir Muara Di Cibungbulang Merupakan Contoh Bagaimana Bukit Rendah Yang Dikelilingi Tiga Batang Sungai Pernah Dijadikan Pemukiman "Lemah Duwur" Sejak Beberapa Ratus Tahun Sebelum Masehi. Lokasi Pakuan Merupakan Lahan Lemah Duwur Yang Satu Sisinya Terbuka Menghadap Ke Arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane Dan Cipaku Merupakan Pelindung Alamiah. Tipe Lemah Duwur Biasanya Dipilih Sama Masyarakat Dengan Latar Belakang Kebudayaan Huma [ Ladang ]. Kota-Kota Yang Seperti Ini Adalah Bogor, Sukabumi Dan Cianjur.

  Kota Seperti Ini Biasanya Dibangun Dengan Konsep Berdasarkan Pengembangan Perkebunan. Tipe Lain Adalah Apa Yang Disebut Garuda Ngupuk. Tipe Seperti Ini Biasanya Dipilih Oleh Masyarakat Dengan Latar Belakang Kebudayaan Sawah. Mereka Menganggap Bahwa Lahan Yang Ideal Untuk Pusat Pemerintahan Adalah Lahan Yang Datar, Luas, Dialiri Sungai Dan Berlindung Di Balik Pegunungan. Kota-Kota Yang Dikembangkan Dengan Corak Ini Misalnya Garut, Bandung Dan Tasikmalaya. Sumedang Memiliki Dua Persyaratan Tipe Ini. Kutamaya Dipilih Oleh Pangeran Santri Menurut Idealisme Pesisir Cirebon Karena Ia Orang Sindangkasih [ Majalengka ] Yang Selalu Hilir Mudik Ke Cirebon. Baru Pada Waktu Kemudian Sumedang Dikukuhkan Dengan Pola Garuda Ngupuk Pada Lokasi Pusat Kota Sumedang Yang Sekarang.

  Gagal Merebut Benteng Kota, Pasukan Penyerbu Ini Dengan Cepat Bergerak Ke Utara Dan Menghancurkan Pusat-Pusat Keagamaan Di Sumedeng, Ciranjang Dan Jayagiri Yang Dalam Jaman Sri Baduga Merupakan Desa Kawikuan Yang Dilindungi Oleh Negara. Sikap Ratu Dewata Yang Alim Dan Rajin Bertapa, Menurut Norma Kehidupan Jaman Itu Tidak Tepat Karena Raja Harus "Memerintah Dengan Baik". Tapa-Brata Seperti Yang Dilakukannya Itu Hanya Boleh Dilakukan Setelah Turun Tahta Dan Menempuh Kehidupan Manurajasuniya Seperti Yang Telah Dilakukan Oleh Wastu Kancana. Karena Itulah Ratu Dewata Dicela Oleh Penulis Carita Parahiyangan Dengan Sindiran :

 "Nya Iyatna-Yatna Sang Kawuri, Haywa Ta Sira Kabalik Pupuasaan"

 [ Maka Berhati-Hatilan Yang Kemudian, Janganlah Engkau Berpura-Pura Rajin Puasa ].

 Penulis Kisah Kuno Itu Melihat Bahwa Kealiman Ratu Dewata Itu Disebabkan Karena Ia Tidak Berani Menghadapi Kenyataan. Penulis Kemudian Berkomentar Pendek "Samangkana Ta Precinta" [ Begitulah Jaman Susah ].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar