Saadat Padjadjaran
Ashadu sahadat islam,
Sarsilah gusti panutan,
Panut pangkon pangandika,
Kanjeng gusti rosul,
Anembah guru,
Anembah ratu,
Anembah telekon agama islam,
Syeh haji kuncung putih,
Kian santang
kan lumejang,
Kudrat yaa insun qursy Allah,



Susuci
Sri suci tunggal sabangsa,
Banyu suci tungggal sabangsa,
Geni suci tunggal sabangsa,
Braja suci tunggal sabangsa,
Suka suci mulya badan sampurna,
Sampurna kersaning allah ta'ala,
Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.

Translate

Rabu, 12 September 2012

Kampung Urug Masih Keturunan Prabu Siliwangi?

Oleh : Dadang H. Padmadiredja

Dalam bukunya, Saleh mengatakan bahwa pada tanggal itu terjadi pemindahan pemerintahan dari Kawali, Ciamis ke Pakuan ( Bogor). Adanya penyatuan Kerajaan Sunda Galuh dan Pakuan menjadikan, Prabu Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Kebesaran Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu tak lekang oleh zaman, bahkan saat inipun banyak sekali kelompok masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan dari Prabu Siliwangi
(seuweu siwi Siliwangi).

Selain itu ada juga kelompok masyarakat yang “biasa” berkomunikasi dengan Eyang Prabu yang digjaya ini, bahkan mereka secara rutin memberikan suguhan (sesajen) bagi mantan Raja Pakuan Pajajaran ini. Nama Prabu Siliwangi seakan masih hidup abadi sekalipun kerajaannnya hanya tinggal puing puingnya saja, salah satu diantaranya Prasasti Batutulis. Dari berbagai kelompok masyarakat atau perorangan yang mengklaim dirinya turunan langsung dari Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Urug. Kampung yang terletak di sebuah lembah yang subur ini masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.

Menurut Kokolot Kampung Urug Tonggoh Abah Rajasa atau sering dipanggil dengan Kolot Kayod, Sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan zaman Eyang Prabu ( Silwangi?) saat timbul tenggelam ( tilem) yang kurun waktunya 5 tahun. “Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian,” ujar Abah

Kayod. Cerita atau Sejarah yang dipahami Kayod berasal dari kokolot sebelumnya. Saat belum menjadi orang yang dituakan, Rajasa sama sekali tidak mengetahui riwayat Kampung Urug, sekalipun kisah ini selalu diceritakan setiap tahun saat Perayaan Seren Pataunan.

Kejadian serupa dialami Kokolot Urug Lebak, Abah Ukat yang baru setahun mengemban jabatan tersebut. Ukat sendiri sebelumnya seorang pedagang yang mencari nafkah di Pasar Leuwiliang. Masamudanya dihabiskan di luar Kampung Urug. Namun karena pergantian kokolot disana berdasarkan wangsit, jadilah ia orang yang dituakan di kampung yang konon katanya pernah ditinggali mantan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Soekarno.

Tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah (jasa ?) Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertamakali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia.

Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat. Yang masih sangat kental dan terlihat jelas atau yang membedakan budaya Kampung Urug dengan yang lainnya ialah adanya leuit atau lumbung padi di hampir seluruh rumah.

Mungkin inilah gambaran nyata dari sisa budaya Sunda baheula atau bisa jadi zaman Prabu Siliwangi masih jeneng. Namun hal ini juga sebenarnya masih menyisakan perdebatan, karena menurut Budayawan Sunda kahot, Anis Djatisunda yang tinggal di Sukabumi, budaya pertanian “urang Sunda” mah, ngahuma dan lebih cenderung berpindah pindah tempat.

Sementara budaya nyawah berasal dari Mataram. Sedang mengenai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, Almarhum H. Komaruddin budayawan yang rajin menulis di salah satu harian local Bogor, sebelum meninggal pernah mengatakan kalau yang dimaksudkan oleh masyarakat Kampung Urug adalah Prabu Nilakendra. Menurut Ki Marko, dilihat dari kurun waktu dan kesamaan pribadi Nilakendra yang sering jalan jalan atau ngalalana, sangat dimungkinkan bukan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Lepas dari itu semua, Kampung Urug saat ini masih menjaga kelestarian budaya Sunda Buhun selain yang disebutkan diatas diantaranya masih adanya Rumah Panggung tempat karuhun ngareureuh, dan kebiasaan lain yang merupakan cerminan di masa lalu.

Masuknya agama Islam ke Kampung Urug secara otomatis merubah pola hidup masyarakat setempat, meskipun masih ada sisa sisa “kebiasaan” karuhun yang dipertahankan. Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik terlihat dalam upacara Seren Pataunan. Ada anggapan “haram” hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama.

Zakatnyapun cukup besar tidak kurang dari 10 persen dari hasil taninya. Inilah mungkin yang membuat Kampung Urug tidak pernah terkena krisis ekonomi, seperti yang diungkapkan isteri mantan kokolot Adang (sebelum Kolot Ukat) bahwa dengan satu kali panen cukup untuk hidup selama 2 tahun. Padahal jenis padi yang ditanam adalah pare gede yang umurnya 6 – 8 bulan dengan hasil panenan tidak lebih dari 3 ton permasakali tanamnya. Satu hal yang tidak mungkin bila dihitung dengan matematik dan kurang masuk akal bila dikalikan dengan biaya hidup saat ini.

CIRI KETURUNAN PRABU SILIWANGI & CIRI KETURUNAN SUNAN GUNUNG JATI

seratan: Rd. Vishnu Kusumawardhana
diserat ulang: R.E. Achmad Fahri Al Munawar Suryakusumah
Ciri Khas Keturunan Padjadjaran-Cirebon

Melihat sejarah dari Kerajaan Padjadjaran,yang Rajanya dikenal dari masa itu hingga saat ini, yaitu Kanjeng Shri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata, atau lebih dikenal dengan sebutan “Prabu Siliwangi”. Pada masa itu Rakyat Padjadjaran menganut agama (mungkin lebih tepatnya kepercayaan) “Ajaran Djati Sunda”, dimana ajaran yang telah lama diyakini oleh seluruh rakyat Padjadjaran ini lebih menekankan pada “Ajaran Hidup/Kehidupan”, salah satu “Ajaran Djati Sunda”, yaitu “Tri Tangtu Sundabuwana” menerapkan falsafah hidup yang sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, bahkan hingga saat ini.
Dalam “Tri Tangtu Sundabuwana” ada 3 falsafah hidup, yaitu : “Rama (Pendiri/Kepala Kampung/Kepala Daerah) ; mempunyai tugas mendirikan dan memimpin suatu daerah, dimana “Rama” ini membabat alas daerah itu, sekaligus “Rama” inilah yang menjadi pemimpin bagi rakyat di daerah tersebut, Resi (Pandita) ; mempunyai tugas membimbing rakyat menuju suatu hal yang bijaksana dan hakiki menuju “Sang Pencipta Alam”, Raja (Prabu/Pemimpin seluruh rakyat) ; mempunyai tugas memimpin dan membuat kebijakan mengenai semua hal yang berhubungan dengan rakyatnya”.
Dari 3 falsafah hidup rakyat Padjadjaran ini, mungkin dapat diterapkan oleh para keturunan Padjadjaran saat ini, baik yang berjalur dari Cirebon (baik yang berasal dari Keraton maupun yang berasal dari luar Keraton), Banten (baik yang berada pada lingkungan kesultanan Banten maupun di luar lingkungan Kesultanan Banten), Sumedang Larang (baik yang berada pada lingkungan Museum Prabu Geusan Oeloen maupun diluar lingkungan museum), Galuh (Saat ini daerah Ciamis & sekitarnya), Sukabumi, Caringin, Majalengka dan berbagai wilayah lainnya yang masih terdapat trah dari Padjadjran. Sebab 3 falsafah hidup ini dapat menuntun kita pada kehidupan yang “lurus”, sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh “Para Karuhun”.
Ada keunikan pada falsafah hidup “Tri Tangtu Sundabuwana” yang menjadi pedoman hidup rakyat Padjadjaran ini, yaitu terdapat ciri khas yang dapat dilihat secara kasat mata/lahiriyah untuk para keturunan Padjadjaran berupa tahi lalat yang membentuk seperti segitiga (untuk seseorang yang masih ada keturunan dari Padjadjran bisa langsung cek di seluruh tubuhnya).
Tanda tahi lalat yang membentuk segitiga inilah yang mempunyai makna “Tri Tangtu Sundabuwana”. Hal ini dimaksudkan agar para keturunan dari Padjadjaran mempunyai pedoman hidup seperti rakyat Padjadjaran di masa itu, bahkan “Prabu Siliwangi” pun memegang teguh pedoman hidup ini. Alangkah baiknya bagi “Para Sedulur” dari trah Padjadjaran untuk menjalani pedoman hidup yang dipegang teguh oleh “Para Karuhun” ini.
Untuk para keturunan dari Cirebon (keturunan dari Syaikh Syarief Hidayatullah/Sunan Gunung Djati) juga terdapat tanda khusus selain tanda “Tri Tangtu Sundabuwana” ini, yaitu berupa tanda garis putih lurus, yang terdapat pada kuku jari tangan/kaki. Tanda khusus dari garis putih lurus ini secara universal bermakna “Islam”, yang dilambangkan dengan warna putih, sedangkan garis lurus perlambang “Jalan Lurus menuju Sang Pencipta Alam” (untuk arti dari makna ini, silahkan diterjemahkan oleh masing-masing individu).

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian I

  Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Selalu Berpindah-Pindah, Seperti Kawali Yang Juga Pernah Dijadikan Sebagai Ibu Kota Kerajaan Pajajaran. Keturunan Manarah Dalam Garis Turunan Laki-Laki Terputus Sehingga Pada Tahun 852 Tahta Galuh Jatuh Kepada Keturunan Banga, Yaitu Rakeyan Wuwus Yang Beristrikan Puteri Keturunan Galuh. Sebaliknya Adik Perempuan Rakeyan Wuwus Menikah Dengan Putera Galuh Yang Kemudian Menggantikan Kedudukan Iparnya Sebagai Raja Sunda IX Dengan Gelar Prabu Darmaraksa Buana.

 Kehadiran Orang Galuh Sebagai Raja Sunda Di Pakuan Waktu Itu Belum Dapat Diterima Secara Umum, Hal Ini Dapat Dimaklumi Karena Sama Halnya Dengan Kehadiran Sanjaya Dan Tamperan Sebagai Orang Sunda Di Galuh. Bahkan Prabu Darmaraksa [ 891 - 895 ] Tewas Dibunuh Oleh Seorang Menteri Sunda Yang Sangat Fanatik Akan Hal Ini. Setelah Peristiwa Itu, Tiap Raja Sunda Yang Baru Pastilah Akan Selalu Memperhitungkan Tempat Kedudukan Yang Akan Dipilihnya Menjadi Pusat Pemerintahan. Dengan Demikian, Pusat Pemerintahan Itu Berpindah-Pindah Dari Barat Ke Timur Dan Sebaliknya. Antara Tahun 895 Sampai Tahun 1311 Kawasan Jawa Barat Diramaikan Sewaktu-Waktu Oleh Iring-Iringan Rombongan Raja Baru Yang Berpindah Tempat.

  Ayah Sri Jayabupati Berkedudukan Di Galuh, Sri Jayabupati Di Pakuan, Tetapi Puteranya Berkedudukan Di Galuh Lagi. Dua Raja Berikutnya [ Raja Sunda Ke-22 Dan Ke-23 ] Memerintah Kembali Di Pakuan. Raja Ke-24 Memerintah Di Galuh Dan Raja Ke-25, Yaitu Prabu Guru Darmasiksa Mula-Mula Berkedudukan Di Saunggalah, Kemudian Pindah Lagi Ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, Berkedudukan Di Saunggalah. Proses Kepindahan Seperti Ini Memang Merepotkan, Namun Pengaruh Positifnya Jelas Sekali Dalam Hal Pemantapan Etnik Di Jawa Barat. Antara Galuh Dengan Sunda Memang Terdapat Kelainan Dalam Hal Tradisi.

  Anwas Adiwijaya [ 1975 ] Mengungkapkan Bahwa Orang Galuh Itu "Orang Air", Sedang Orang Sunda "Orang Gunung". Yang Satu Memiliki "Mitos Buaya", Yang Lain "Mitos Harimau". Di Daerah Ciamis Dan Tasikmalaya Masih Ada Beberapa Tempat Yang Bernama Panereban. Tempat Yang Bernama Demikian Pada Masa Silam Merupakan Tempat Melabuhkan [ Nerebkeun ] Mayat Karena Menurut Tradisi Galuh, Mayat Harus "Dilarung" [ Dihanyutkan ] Di Sungai. Sebaliknya Orang Kanekes Yang Masih Menyimpan Banyak Sekali "Sisa-Sisa" Tradisi Sunda, Mengubur Mayat Dalam Tanah. Tradisi "Nerebkeun" Di Sebelah Timur Dan Tradisi "Ngurebkeun" Di Sebelah Barat [ Membekas Dalam Istilah Panereban Dan Pasarean ].

  Sejarah Kerajaan Pajajaran Telah Meleburkan Kedua Kelompok Sub-Etnik Ini Menjadi Satu "Orang Air" Dengan "Orang Gunung" Itu Menjadi Akrab Dan Berbaur Seperti Dilambangkan Oleh Dongeng Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet [ Kura-Kura Dan Monyet ]. Dongeng Yang Khas Sunda Ini Sangat Mendalam Dan Meluas Dalam Segala Lapisan Masyarakat, Padahal Mereka Tahu, Bahwa Dalam Kenyataan Sehari-Hari Monyet Dan Kuya Itu Bertemu Saja Mugkin Tidak Pernah. Pada Abad Ke-14 Sebutan Sunda Itu Sudah Meliputi Seluruh Jawa Barat, Baik Dalam Pengertian Wilayah Maupun Dalam Pengertian Etnik. Menurut Pustaka Paratwan I Bgumi Jawadwipa, Parwa I Sarga 1, Nama Sunda Mulai Digunakan Oleh Purnawarman Untuk Ibukota Tarumanagara Yang Baru Didirikannya, Sundapura. Idealisme Kenegaraan Memang Terpaut Di Dalamnya Karena Sundapura Mengandung Arti Kota Suci Atau Kota Murni, Sedangkan Galuh Berarti Permata Atau Batu Mulia.

  Dalam Periode Yang Sama, Di Timur Pulau Jawa Muncul Sebuah Kota Baru Yang Makin Mendesak Kedudukan Galuh Dan Saunggalah, Yaitu Kawali [ Artinya Kuali Atau Belanga ]. Lokasinya Strategis Karena Berada Di Tengah Segitiga Galunggung, Saunggalah Dan Galuh. Sejak Abad XIV Ini Galuh Selalu Disangkutpautkan Dengan Kawali. Dua Orang Raja Sunda Dipusarakan Di Winduraja. Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Yang Condong Ke Timur Sudah Mulai Nampak Sejak Masa Pemerintahan Prabu Ragasuci [ 1297-1303 ].

  Ketika Naik Tahta Menggantikan Ayahnya [ Prabu Darmasiksa ], Ia Tetap Memilih Saunggalah Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Karena Ia Sendiri Sebelumnya Telah Lama Berkedudukan Sebagai Raja Di Timur. Tetapi Pada Masa Pemerintahan Puteranya Prabu Citraganda, Sekali Lagi Pakuan Menjadi Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Ragasuci Sebenarnya Bukan Putera Mahkota Karena Kedudukanya Itu Dijabat Kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya I Bhumi Nusantara Parwa II Sarga 3, Jayadarma Adalah Menantu Mahisa Campaka Di Jawa Timur Karena Ia Berjodoh Dengan Dyah Singamurti Alias Dyah Lembu Tal. Mereka Berputera Sang Nararya Sanggramawijaya Atau Lebih Dikenal Dengan Nama Raden Wijaya, Yang Lahir Di Pakuan.

  Karena Jayadarma Wafat Dalam Usia Muda, Lembu Tal Tidak Bersedia Tinggal Lebih Lama Di Pakuan. Akhirnya Wijaya Dan Ibunya Diantarkan Ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya Disebut Pula Jaka Susuruh Dari Kerajaan Pajajaran Yang Kemudian Menjadi Raja Majapahit Yang Pertama. Kematian Jayadarma Mengosongkan Kedudukan Putera Mahkota Karena Wijaya Berada Di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa Kemudian Menunjuk Putera Prabu Ragasuci, Citraganda, Sebagai Calon Ahli Warisnya. Permaisuri Ragasuci Adalah Dara Puspa, Puteri Kerajaan Melayu, Adik Dara Kencana Isteri Kertanegara. Citraganda Tinggal Di Pakuan Bersama Kakeknya.

  Ketika Prabu Darmasiksa Wafat, Untuk Sementara Ia Menjadi Raja Daerah Selama Enam Tahun Di Pakuan. Ketika Itu Raja Sunda Dijabat Ayahnya Di Saunggalah. Dari 1303 Sampai 1311, Citraganda Menjadi Raja Sunda Di Pakuan Dan Ketika Wafat Ia Dipusarakan Di Tanjung. Prabu Lingga Dewata, Putera Citraganda, Mungkin Berkedudukan Di Kawali. Yang Pasti, Menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa [ 1333-1340 ] Sudah Berkedudukan Di Kawali Dan Sampai Tahun 1482 Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Tetap Berada Di Sana. Bisa Disebut Bahwa Tahun 1333-1482 Adalah Jaman Kawali Dalam Sejarah Pemerintahan Di Jawa Barat Dan Mengenal Lima Orang Raja.

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian II

  Lain Dengan Galuh, Nama Kawali Terabadikan Dalam Dua Buah Prasasti Batu Peninggalan Prabu Raja Wastu Yang Tersimpan Di Astana Gede, Kawali. Dalam Prasasti Itu Ditegaskan "Mangadeg Di Kuta Kawali" [ Bertahta Di Kota Kawali ] Dan Keratonnya Disebut Surawisesa Yang Dijelaskan Sebagai "Dalem Sipawindu Hurip" [ Keraton Yang Memberikan Ketenangan Hidup ]. Prabu Raja Wastu Atau Niskala Wastu Kancana Adalah Putera Prabu Maharaja Lingga Buana Yang Gugur Di Medan Bubat Dalam Tahun 1357. Ketika Terjadi Pasunda Bubat, Usia Wastu Kancana Baru 9 Tahun Dan Ia Adalah Satu-Satunya Ahli Waris Kerajaan Yang Hidup Karena Ketiga Kakaknya Meninggal.

 Pemerintahan Kemudian Diwakili Oleh Pamannya Mangkubumi Suradipati Atau Prabu Bunisora [ Ada Juga Yang Menyebut Prabu Kuda Lalean, Sedangkan Dalam Babad Panjalu Disebut Prabu Borosngora. Selain Itu Ia Pun Dijuluki Batara Guru Di Jampang Karena Ia Menjadi Pertapa Dan Resi Yang Ulung ]. Mangkubumi Suradipati Dimakamkan Di Geger Omas. Setelah Pemerintahan Di Jalankan Pamannya Yang Sekaligus Juga Mertuanya, Wastu Kancana Dinobatkan Menjadi Raja Di Kerajaan Pajajaran Pada Tahun 1371 Pada Usia 23 Tahun. Permaisurinya Yang Pertama Adalah Lara Sarkati Puteri Lampung. Dari Perkawinan Ini Lahir Sang Haliwungan, Yang Setelah Dinobatkan Menjadi Raja Sunda Bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri Yang Kedua Adalah Mayangsari Puteri Sulung Bunisora Atau Mangkubumi Suradipati. Dari Perkawinannya Dengan Mayangsari Lahir Ningrat Kancana, Yang Setelah Menjadi Penguasa Galuh Bergelar Prabu Dewa Niskala.

  Setelah Wastu Kancana Wafat Tahun 1475, Kerajaan Dipecah Dua Diantara Susuktunggal Dan Dewa Niskala Dalam Kedudukan Sederajat. Politik Kesatuan Wilayah Telah Membuat Jalinan Perkawinan Antar Cucu Wastu Kencana. Jayadewata, Putera Dewa Niskala, Mula-Mula Memperistri Ambetkasih, Puteri Ki Gedeng Sindangkasih, Kemudian Memperistri Subanglarang. Yang Terakhir Ini Adalah Puteri Ki Gedeng Tapa Yang Menjadi Raja Singapura. Subanglarang Ini Keluaran Pesantren Pondok Quro Di Pura, Karawang. Ia Seorang Wanita Muslim Murid Syekh Hasanudin Yang Menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura Di Karawang Didirikan Tahun 1416 Dalam Masa Pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang Belajar Di Situ Selama Dua Tahun. Ia Adalah Nenek Syarif Hidayatullah. Kemudian Jayadewata Mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda Puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah Antara Raja Sunda Dan Raja Galuh Yang Seayah Ini Menjadi Besan.

  Kejatuhan Prabu Kertabumi [ Brawijaya V ] Raja Majapahit Tahun 1478 Telah Mempengaruhi Jalan Sejarah Di Jawa Barat. Rombongan Pengungsi Dari Kerabat Keraton Majapahit Akhirnya Ada Juga Yang Sampai Di Kawali. Salah Seorang Diantaranya Ialah Raden Baribin Saudara Seayah Prabu Kertabumi. Ia Diterima Dengan Baik Oleh Prabu Dewa Niskala Bahkan Kemudian Dijodohkan Dengan Ratna Ayu Kirana [ Puteri Bungsu Dewa Niskala Dari Salah Seorang Isterinya ], Adik Raden Banyak Cakra [ Kamandaka ] Yang Telah Jadi Raja Daerah Di Pasir Luhur. Disamping Itu Dewa Niskala Sendiri Menikahi Salah Seorang Dari Wanita Pengungsi Yang Kebetulan Telah Bertunangan. Dalam Carita Parahiyangan Disebutkan "Estri Larangan Ti Kaluaran". Sejak Peristiwa Bubat, Kerabat Keraton Kawali Ditabukan Berjodoh Dengan Kerabat Keraton Majapahit. Selain Itu, Menurut "Perundang-Undangan" Waktu Itu, Seorang Wanita Yang Bertunangan Tidak Boleh Menikah Dengan Laki-Laki Lain Kecuali Bila Tunangannya Meninggal Dunia Atau Membatalkan Pertunangan.

  Dengan Demikian, Dewa Niskala Telah Melanggar Dua Peraturan Sekaligus Dan Dianggap Berdosa Besar Sebagai Raja. Kehebohan Pun Tak Terelakkan. Susuktunggal [ Raja Sunda Yang Juga Besan Dewa Niskala ] Mengancam Memutuskan Hubungan Dengan Kawali. Namun, Kericuhan Dapat Dicegah Dengan Keputusan, Bahwa Kedua Raja Yang Berselisih Itu Bersama-Sama Mengundurkan Diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala Menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh Kepada Puteranya Jayadewata. Demikian Pula Dengan Prabu Susuktungal Yang Menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda Kepada Menantunya Ini [ Jayadewata ]. Dengan Peristiwa Yang Terjadi Tahun 1482 Itu, Kerajaan Warisan Wastu Kencana Berada Kembali Dalam Satu Tangan. Jayadewata Memutuskan Untuk Berkedudukan Di Pakuan Sebagai "Susuhunan" Karena Ia Telah Lama Tinggal Di Sini Menjalankan Pemerintahan Sehari-Hari Mewakili Mertuanya. Sekali Lagi Pakuan Menjadi Pusat Pemerintahan.

  Masa Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Diawali Oleh Pemerintahan Sri Baduga Maharaja [ Ratu Jayadewata ] Yang Memerintah Selama 39 Thn [ 1482 - 1521 ]. Pada Masa Inilah Pakuan Mencapai Puncak Perkembangannya. Dalam Prasasti Batutulis Diberitakan Bahwa Sri Baduga Dinobatkan Dua Kali, Yaitu Yang Pertama Ketika Jayadewata Menerima Tahta Galuh Dari Ayahnya [ Prabu Dewa Niskala ] Yang Kemudian Bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang Kedua Ketika Ia Menerima Tahta Kerajaan Sunda Dari Mertuanya, Susuktunggal. Dengan Peristiwa Ini, Ia Menjadi Penguasa Sunda-Galuh Dan Dinobatkan Dengar Gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Di Pakuan Kerajaan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi Sekali Lagi Dan Untuk Terakhir Kalinya, Setelah "Sepi" Selama 149 Tahun, Jawa Barat Kembali Menyaksikan Iring-Iringan Rombongan Raja Yang Berpindah Tempat Dari Timur Ke Barat.

  Di Jawa Barat Sri Baduga Ini Lebih Dikenal Dengan Nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi Sudah Tercatat Dalam Kropak 630 Sebagai Lakon Pantun. Naskah Itu Ditulis Tahun 1518 Ketika Sri Baduga Masih Hidup. Lakon Prabu Siliwangi Dalam Berbagai Versinya Berintikan Kisah Tokoh Ini Menjadi Raja Di Pakuan. Peristiwa Itu Dari Segi Sejarah Berarti Saat Sri Baduga Mempunyai Kekuasaan Yang Sama Besarnya Dengan Wastu Kancana [ Kakeknya ] Alias Prabu Wangi [ Menurut Pandangan Para Pujangga Sunda ].

  Menurut Tradisi Lama. Orang Segan Atau Tidak Boleh Menyebut Gelar Raja Yang Sesungguhnya, Maka Juru Pantun Mempopulerkan Sebutan Siliwangi. Dengan Nama Itulah Ia Dikenal Dalam Literatur Sunda. Wangsakerta Pun Mengungkapkan Bahwa Siliwangi Bukan Nama Pribadi, Ia Menulis:
 "Kawalya Ta Wwang Sunda Lawan Ika Wwang Carbon Mwang Sakweh Ira Wwang Jawa Kulwan Anyebuta Prabhu Siliwangi Raja Kerajaan Pajajaran. Dadyeka Dudu Ngaran Swaraga Nira".
 [ Hanya Orang Sunda Dan Orang Cirebon Serta Semua Orang Jawa Barat Yang Menyebut Prabu Siliwangi Raja Kerajaan Pajajaran. Jadi Nama Itu Bukan Nama Pribadinya ].

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian III

  Waktu Mudanya Sri Baduga Terkenal Sebagai Kesatria Pemberani Dan Tangkas Bahkan Satu-Satunya Yang Pernah Mengalahkan Ratu Japura [ Amuk Murugul ] Waktu Bersaing Memperbutkan Subanglarang [ Istri Kedua Prabu Siliwangi Yang Beragama Islam ]. Dalam Berbagai Hal, Orang Sejamannya Teringat Kepada Kebesaran Mendiang Buyutnya [ Prabu Maharaja Lingga Buana ] Yang Gugur Di Bubat Yang Digelari Prabu Wangi. Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/2 Mengungkapkan Bahwa Orang Sunda Menganggap Sri Baduga Sebagai Pengganti Prabu Wangi, Sebagai Silih Yang Telah Hilang. Naskahnya Berisi Sebagai Berikut [ Artinya Saja ]:
 "Di Medan Perang Bubat Ia Banyak Membinasakan Musuhnya Karena Prabu Maharaja Sangat Menguasai Ilmu Senjata Dan Mahir Berperang, Tidak Mau Negaranya Diperintah Dan Dijajah Orang Lain."
 Ia Berani Menghadapi Pasukan Besar Majapahit Yang Dipimpin Oleh Sang Patih Gajah Mada Yang Jumlahnya Tidak Terhitung. Oleh Karena Itu, Ia Bersama Semua Pengiringnya Gugur Tidak Tersisa. Ia Senantiasa Mengharapkan Kemakmuran Dan Kesejahteraan Hidup Rakyatnya Di Seluruh Bumi Jawa Barat. Kemashurannya Sampai Kepada Beberapa Negara Di Pulau-Pulau Dwipantara Atau Nusantara Namanya Yang Lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Membangkitkan [ Rasa Bangga Kepada ] Keluarga, Menteri-Menteri Kerajaan, Angkatan Perang Dan Rakyat Jawa Barat. Oleh Karena Itu Nama Prabu Maharaja Mewangi. Selanjutnya Ia Di Sebut Prabu Wangi. Dan Keturunannya Lalu Disebut Dengan Nama Prabu Siliwangi. Demikianlah Menurut Penuturan Orang Sunda.

 Kesenjangan Antara Pendapat Orang Sunda Dengan Kenyataan Sejarah Seperti Yang Diungkapkan Di Atas Mudah Dijajagi. Pangeran Wangsakerta, Penanggung Jawab Penyusunan Sejarah Nusantara, Menganggap Bahwa Tokoh Prabu Wangi Adalah Maharaja Linggabuana Yang Gugur Di Bubat, Sedangkan Penggantinya [ "Silih"Nya ] Bukan Sri Baduga Melainkan Wastu Kancana [ Kakek Sri Baduga, Yang Menurut Naskah Wastu Kancana Disebut Juga Prabu Wangisutah ]. Orang Sunda Tidak Memperhatikan Perbedaan Ini Sehingga Menganggap Prabu Siliwangi Sebagai Putera Wastu Kancana [ Prabu Anggalarang ]. Tetapi Dalam Carita Parahiyangan Disebutkan Bahwa Niskala Wastu Kancana Itu Adalah "Seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala [ Ayah Sri Baduga ] Dilewat? Ini Disebabkan Dewa Niskala Hanya Menjadi Penguasa Galuh. Dalam Hubungan Ini Tokoh Sri Baduga Memang Penerus "Langsung" Dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, Ayah Dan Mertua Sri Baduga [ Dewa Niskala Dan Susuktunggal ] Hanya Bergelar Prabu, Sedangkan Jayadewata Bergelar Maharaja [ Sama Seperti Kakeknya Wastu Kancana Sebagai Penguasa Sunda-Galuh ].

  Dengan Demikian, Seperti Diutarakan Amir Sutaarga [ 1965 ], Sri Baduga Itu Dianggap Sebagai "Silih" [ Pengganti ] Prabu Wangi Wastu Kancana [ Oleh Pangeran Wangsakerta Disebut Prabu Wangisutah ]. "Silih" Dalam Pengertian Kekuasaan Ini Oleh Para Pujangga Babad Yang Kemudian Ditanggapi Sebagai Pergantian Generasi Langsung Dari Ayah Kepada Anak Sehingga Prabu Siliwangi Dianggap Putera Wastu Kancana. Riwayat Perang Bubat Itu Sendiri :
 "Perang Antara Kerajaan Majapahit Dan Kerajaan Sunda Itu Terjadi Di Desa Bubat. Perang Ini Dipicu Oleh Ambisi Maha Patih Gajah Mada Yang Ingin Menguasai Kerajaan Sunda. Pada Saat Itu Sebenarnya Antara Kerajaan Sunda Dan Majapahit Sedang Dibangun Ikatan Persaudaraan, Yaitu Dengan Menjodohkan Dyah Pitaloka Dengan Maharaja Hayam Wuruk. Rombongan Kerajaan Sunda Ini Di Gempur Oleh Pasukan Mahapatih Gajah Mada Yang Menyebabkan Semua Pasukan Kerajaan Sunda Yang Ikut Rombongan Punah. Akibat Perang Bubat Inipula, Maka Hubungan Antara Mahapatih Gajah Mada Dan Maharaja Hayam Wuruk Menjadi Renggang".

  Catatan Yang Bisa Dijadikan Rujukan Adalah Guguritan Sunda, Yang Mengisahkan Gejolak Sosial Dan Pecahnya Perang Di Desa Bubat Antara Kerajaan Majapahit Dengan Kerajaan Sunda Dan Gugurnya Mahapatih Gajah Mada Secara Misterius. Alih Bahasa Oleh I Wayan Sutedja [ Sepertinya Pustaka Aslinya Ditulis Dalam Bahasa Bali, 1995. Dan Bagi Yang Tinggal Di Amerika, Pustaka Ini Bisa Dipinjam Di Ohio University. Kepindahan Isteri Ratu Pakuan [ Sri Baduga ] Ke Pakuan Terekam Oleh Pujangga Bernama Kai Raga Di Gunung Srimanganti [ Sikuray ]. Naskahnya Ditulis Dalam A Pantun Dan Dinamai Carita Ratu Pakuan, Yang Diperkirakan Ditulis Pada Akhir Abad Ke-17 Atau Awal Abad Ke-18. Naskah Itu Dapat Ditemukan Pada Koropak 410 . Terjemahannya Adalah Sebagai Berikut :

 Tersebutlah Ngabetkasih Bersama Madu-Madunya Bergerak Payung Lebesaran Melintas Tugu Yang Seia Dan Sekata Hendak Pulang Ke Pakuan Kembali Dari Keraton Di Timur Halaman Cahaya Putih Induk Permata Cahaya Datar Namanya Keraton Berseri Emas Permata Rumah Berukir Lukisan Alun Di Sanghiyang Pandan-Larang Keraton Penenang Hidup.

 Bergerak Barisan Depan Disusul Yang Kemudian Teduh Dalam Ikatan Dijunjung Bakul Kue Dengan Tutup Yang Diukir Kotak Jati Bersudut Bulatan Emas Tempat Sirih Nampan Perak Bertiang Gading Ukiran Telapak Gajah Hendak Dibawa Ke Pakuan.

 Bergerak Tandu Kencana Beratap Cemara Gading Bertiang Emas Bernama Lingkaran Langit Berpuncak Permata Indah Ditatahkan Pada Watang Yang Bercungap Singa-Singaan Di Sebelah Kiri-Kanan Payung Hijau Bertiang Gading Berpuncak Getas Yang Bertiang Berpuncak Emas Dan Payung Saberilen Berumbai Potongan Benang Tapok Terongnya Emas Berlekuk Berayun Panjang Langkahnya Terkedip Sambil Menoleh Ibarat Semut, Rukun Dengan Saudaranya Tingkahnya Seperti Semut Beralih.

 Bergerak Seperti Pematang Cahaya Melayang-Layang Berlenggang Di Awang-Awang Pembawa Gendi Di Belakang Pembawa Kandaga Di Depan Dan Ayam-Ayaman Emas Kiri-Kanan Kidang-Kidangan Emas Di Tengah Siapa Diusun Di Singa Barong.

 Bergerak Yang Di Depan, Menyusul Yang Kemudian Barisan Yang Lain Lagi.

  Kisah Dalam Pantun Itu Adalah Ngabetkasih [ Ambetkasih ], Isteri Sri Baduga Yang Pertama [ Puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, Putera Wastu Kancana Ketiga Dari Mayangsari ]. Ia Pindah Dari Keraton Timur [ Galuh ] Ke Pakuan Bersama Isteri-Isteri Sri Baduga Yang Lain. Tindakan Pertama Yang Diambil Oleh Sri Baduga Setelah Resmi Dinobatkan Jadi Raja Adalah Menunaikan Amanat Dari Kakeknya [ Wastu Kancana ] Yang Disampaikan Melalui Ayahnya [ Ningrat Kancana ] Ketika Ia Masih Menjadi Mangkubumi Di Kawali. Isi Pesan Ini Bisa Ditemukan Pada Salah Satu Prasasti Peninggalan Sri Baduga Di Kebantenan. Terjemahannya Adalah Sebagai Berikut :

 Semoga Selamat. Ini Tanda Peringatan Bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun Kepada Rahyang Ningrat Kancana, Maka Selanjutnya Kepada Susuhunan Sekarang Di Pakuan Kerajaan Pajajaran. Harus Menitipkan Ibukota Di Jayagiri Dan Ibukota Di Sunda Sembawa.

 Semoga Ada Yang Mengurusnya. Jangan Memberatkannya Dengan "Dasa", "Calagra", "Kapas Timbang", Dan "Pare Dongdang".

 Maka Diperintahkan Kepada Para Petugas Muara Agar Jangan Memungut Bea. Karena Merekalah Yang Selalu Berbakti Dan Membaktikan Diri Kepada Ajaran-Ajaran. Merekalah Yang Tegas Mengamalkan Peraturan Dewa.

  Dengan Tegas Di Sini Disebut "Dayeuhan" [ Ibukota ] Di Jayagiri Dan Sunda Sembawa. Penduduk Kedua Dayeuh Ini Dibebaskan Dari 4 Macam Pajak, Yaitu "Dasa" [ Pajak Tenaga Perorangan ], "Calagra" [ Pajak Tenaga Kolektif ], "Kapas Timbang" [ Kapas 10 Pikul ] Dan "Pare Dondang" [ Padi 1 Gotongan ]. Dalam Kropak 630, Urutan Pajak Tersebut Adalah Dasa, Calagra, "Upeti", "Panggeureus Reuma". Dalam Koropak 406 Disebutkan Bahwa Dari Daerah Kandang Wesi [ Sekarang Bungbulang, Garut ] Harus Membawa "Kapas Sapuluh Carangka" [ 10 Carangka = 10 Pikul = 1 Timbang Atau Menurut Coolsma, 1 Caeng Timbang ] Sebagai Upeti Ke Pakuan Tiap Tahun. Kapas Termasuk Upeti. Jadi Tidak Dikenakan Kepada Rakyat Secara Perorangan, Melainkan Kepada Penguasa Setempat. "Pare Dondang" Disebut "Panggeres Reuma".

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian IV

  Panggeres Adalah Hasil Lebih Atau Hasil Cuma-Cuma Tanpa Usaha. Reuma Adalah Bekas Ladang. Jadi, Padi Yang Tumbuh Terlambat [ Turiang ] Di Bekas Ladang Setelah Dipanen Dan Kemudian Ditinggalkan Karena Petani Membuka Ladang Baru, Menjadi Hak Raja Atau Penguasa Setempat [ Tohaan ]. Dongdang Adalah Alat Pikul Seperti "Tempat Tidur" Persegi Empat Yang Diberi Tali Atau Tangkai Berlubang Untuk Memasukan Pikulan. Dondang Harus Selalu Digotong. Karena Bertali Atau Bertangkai, Waktu Digotong Selalu Berayun Sehingga Disebut "Dondang" [ Berayun ]. Dondang Pun Khusus Dipakai Untuk Membawa Barang Antaran Pada Selamatan Atau Arak-Arakan. Oleh Karena Itu, "Pare Dongdang" Atau "Penggeres Reuma" Ini Lebih Bersifat Barang Antaran.

 Pajak Yang Benar-Benar Hanyalah Pajak Tenaga Dalam Bentuk "Dasa" Dan "Calagra" [ Di Majapahit Disebut "Walaghara = Pasukan Kerja Bakti ]. Tugas-Tugas Yang Harus Dilaksanakan Untuk Kepentingan Raja Diantaranya : Menangkap Ikan, Berburu, Memelihara Saluran Air [ Ngikis ], Bekerja Di Ladang Atau Di "Serang Ageung" [ Ladang Kerajaan Yang Hasil Padinya Di Peruntukkan Bagi Upacara Resmi ]. Dalam Kropak 630 Disebutkan "Wwang Tani Bakti Di Wado" [ Petani Tunduk Kepada Wado ]. Wado Atau Wadwa Ialah Prajurit Kerajaan Yang Memimpin Calagara. Sistem Dasa Dan Calagara Ini Terus Berlanjut Setelah Jaman Kerajaan.

  Belanda Yang Di Negaranya Tidak Mengenal Sistem Semacam Ini Memanfaatkanna Untuk "Rodi". Bentuk Dasa Diubah Menjadi "Heerendiensten" [ Bekerja Di Tanah Milik Penguasa Atau Pembesar ]. Calagara Diubah Menjadi "Algemeenediensten" [ Dinas Umum ] Atau "Campongdiesnten" [ Dinas Kampung ] Yang Menyangkut Kepentingan Umum, Seperti Pemeliharaan Saluran Air, Jalan, Rumah Jada Dan Keamanan. Jenis Pertama Dilakukan Tanpa Imbalan Apa-Apa, Sedangkan Jenis Kedua Dilakuan Dengan Imbalan Dan Makan. "Preangerstelsel" Dan "Cultuurstelsel" Yang Keduanya Berupa Sistem Tanam Paksa Memanfaatkan Tradisi Pajak Tenaga Ini.

  Dalam Akhir Abad Ke-19 Bentuknya Berubah Menjadi "Lakon Gawe" Dan Berlaku Untuk Tingkat Desa. Karena Bersifat Pajak, Ada Sangsi Untuk Mereka Yang Melalaikannya. Dari Sinilah Orang Sunda Mempunyai Peribahasa "Puraga Tamba Kadengda" [ Bekerja Sekedar Untuk Menghindari Hukuman Atau Dendaan ]. Bentuk Dasa Pada Dasarnya Tetap Berlangsung. Di Desa Ada Kewajiban "Gebagan" Yaitu Bekerja Di Sawah Bengkok Dan Ti Tingkat Kabupaten Bekerja Untuk Menggarap Tanah Para Pembesar Setempat. "Gotong Royong Tradisional Berupa Bekerja Untuk Kepentingan Umum Atas Perintah Kepala Desa", Menurut Sejarahnya Bukanlah Gotong Royong. Memang Tradisional, Tetapi Ide Dasarnya Adalah Pajak Dalam Bentuk Tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa Disebut Karyabhakti Dan Sudah Dikenal Pada Masa Tarumanagara Dalam Abad Ke-5. Piagam-Piagam Sri Baduga Lainnya Berupa "Piteket" Karena Langsung Merupakan Perintahnya. Isinya Tidak Hanya Pembebasan Pajak Tetapi Juga Penetapan Batas-Batas "Kabuyutan" Di Sunda Sembawa Dan Gunung Samaya Yang Dinyatakan Sebagai "Lurah Kwikuan" Yang Disebut Juga Desa Perdikan, Desa Bebas Pajak.

  Sumber Sejarah Di Masa Pemerintahan Sri Baduga :

 * Carita Parahiyangan.
 Pemerintahan Sri Baduga Dilukiskan :
 "Purbatisi Purbajati, Mana Mo Kadatangan Ku Musuh Ganal Musuh Alit. Suka Kreta Tang Lor Kidul Kulon Wetan Kena Kreta Rasa. Tan Kreta Ja Lakibi Dina Urang Reya, Ja Loba Di Sanghiyang Siksa".

 [ Ajaran Dari Leluhur Dijunjung Tinggi Sehingga Tidak Akan Kedatangan Musuh, Baik Berupa Laskar Maupun Penyakit Batin. Senang Sejahtera Di Utara, Barat Dan Timur. Yang Tidak Merasa Sejahtera Hanyalah Rumah Tangga Orang Banyak Yang Serakah Akan Ajaran Agama ].

 Dari Naskah Ini Dapat Diketahui, Bahwa Pada Saat Itu Telah Banyak Rakyat Kerajaan Pajajaran Yang Beralih Agama [ Islam ] Dengan Meninggalkan Agama Lama. Mereka Disebut "Loba" [ Serakah ] Karena Merasa Tidak Puas Dengan Agama Yang Ada, Lalu Mencari Yang Baru.

 * Pustaka Nagara Kretabhumi Parwa I Sarga 2.
 Menceritakan, Bahwa Pada Tanggal 12 Bagian Terang Bulan Caitra Tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat Menghentikan Pengiriman Upeti Yang Seharusnya Di Bawa Setiap Tahun Ke Pakuan Kerajaan Pajajaran. Syarif Hidayat Masih Cucu Sri Baduga Dari Lara Santang. Ia Dijadikan Raja Oleh Uanya [ Pangeran Cakrabuana ] Dan Menjadi Raja Merdeka Di Kerajaan Pajajaran Di Bumi Sunda [ Jawa Barat ], Ketika Itu Sri Baduga Baru Saja Menempati Istana Sang Bhima [ Sebelumnya Di Surawisesa ]. Kemudian Diberitakan, Bahwa Pasukan Angkatan Laut Demak Yang Kuat Berada Di Pelabuhan Cirebon Untuk Menjada Kemungkinan Datangnya Serangan Kerajaan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya Beserta 60 Anggota Pasukannya Yang Dikirimkan Dari Pakuan Ke Cirebon, Tidak Mengetahui Kehadiran Pasukan Demak Di Sana. Jagabaya Tak Berdaya Menghadapi Pasukan Gabungan Cirebon-Demak Yang Jumlahnya Sangat Besar. Akhirnya Jagabaya Menghamba Dan Masuk Islam.

  Peristiwa Itu Membangkitkan Kemarahan Sri Baduga. Pasukan Besar Segera Disiapkan Untuk Menyerang Cirebon. Akan Tetapi Pengiriman Pasukan Itu Dapat Dicegah Oleh Purohita [ Pendeta Tertinggi ] Keraton Ki Purwa Galih. Cirebon Adalah Daerah Warisan Cakrabuana [ Walangsungsang ] Dari Mertuanya [ Ki Danusela ] Dan Daerah Sekitarnya Diwarisi Dari Kakeknya Ki Gedeng Tapa [ Ayah Subanglarang ]. Cakrabuana Sendiri Dinobatkan Oleh Sri Baduga [ Sebelum Menjadi Susuhunan ] Sebagai Penguasa Cirebon Dengan Gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat Dinobatkan Oleh Cakrabuana Dan Juga Masih Cucu Sri Baduga, Maka Alasan Pembatalan Penyerangan Itu Bisa Diterima Oleh Penguasa Kerajaan Pajajaran.

  Demikianlah Situasi Yang Dihadapi Sri Baduga Pada Awal Masa Pemerintahannya. Dapat Dimaklumi Kenapa Ia Mencurahkan Perhatian Kepada Pembinaan Agama, Pembuatan Parit Pertahanan, Memperkuat Angkatan Perang, Membuat Jalan Dan Menyusun PAGELARAN [ Formasi Tempur ]. Kerajaan Pajajaran Adalah Negara Yang Kuat Di Darat, Tetapi Lemah Di Laut. Menurut Sumber Portugis, Di Seluruh Kerajaan, Kerajaan Pajajaran Memiliki Kira-Kira 100.000 Prajurit. Raja Sendiri Memiliki Pasukan Gajah Sebanyak 40 Ekor. Di Laut, Kerajaan Pajajaran Hanya Memiliki Enam [ 6 ] Buah Jung Ukuran 150 Ton Dan Beberaa Lankaras [ ? ] Untuk Kepentingan Perdagangan Antar-Pulaunya [ Saat Itu Perdagangan Kuda Jenis Pariaman Mencapai 4000 Ekor/Tahun ]. Keadaan Makin Tegang Ketika Hubungan Demak-Cirebon Makin Dikukuhkan Dengan Perkawinan Putera-Puteri Dari Kedua Belah Pihak. Ada Empat Pasangan Yang Dijodohkan, Yaitu :

 1. Pangeran Hasanudin Dengan Ratu Ayu Kirana [ Purnamasidi ].
 2. Ratu Ayu Dengan Pangeran Sabrang Lor.
 3. Pangeran Jayakelana Dengan Ratu Pembayun.
 4. Pangeran Bratakelana Dengan Ratu Ayu Wulan [ Ratu Nyawa ].
 Perkawinan Sabrang Lor Alias Yunus Abdul Kadir Dengan Ratu Ayu Terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, Panglima Angkatan Laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor Untuk Sementara Berada Di Cirebon.

  Persekutuan Cirebon-Demak Inilah Yang Sangat Mencemaskan Sri Baduga Di Pakuan. Tahun 1512, Ia Mengutus Putera Mahkota Surawisesa Menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque Di Malaka [ Ketika Itu Baru Saja Merebut Pelabuhan Pasai ]. Sebaliknya Upaya Kerajaan Pajajaran Ini Telah Pula Meresahkan Pihak Demak. Pangeran Cakrabuana Dan Susuhunan Jati [ Syarif Hidayat ] Tetap Menghormati Sri Baduga Karena Masing-Masing Sebagai Ayah Dan Kakek. Oleh Karena Itu Permusuhan Antara Kerajaan Pajajaran Dengan Cirebon Tidak Berkembang Ke Arah Ketegangan Yang Melumpuhkan Sektor-Sektor Pemerintahan. Sri Baduga Hanya Tidak Senang Hubungan Cirebon-Demak Yang Terlalu Akrab, Bukan Terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, Ia Sendiri Tidak Membencinya Karena Salah Seorang Permaisurinya, Subanglarang, Adalah Seorang Muslimah Dan Ketiga Anaknya ,Walangsungsang Alias Cakrabuana, Lara Santang, Dan Raja Sangara, Diizinkan Sejak Kecil Mengikuti Agama Ibunya [ Islam ].

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian V

Karena Permusuhan Tidak Berlanjut Ke Arah Pertumpahan Darah, Maka Masing Masing Pihak Dapat Mengembangkan Keadaan Dalam Negerinya. Demikianlah Pemerintahan Sri Baduga Dilukiskan Sebagai Jaman Kesejahteraan [ Carita Parahiyangan ]. Tome Pires Ikut Mencatat Kemajuan Jaman Sri Baduga Dengan Komentar "The Kingdom Of Sunda Is Justly Governed; They Are True Men" [ Kerajaan Sunda Diperintah Dengan Adil; Mereka Adalah Orang-Orang Jujur ]. Juga Diberitakan Kegiatan Perdagangan Sunda Dengan Malaka Sampai Ke Kepulauan Maladewa [ Maladiven ]. Jumlah Merica Bisa Mencapai 1000 Bahar [ 1 Bahar = 3 Pikul ] Setahun, Bahkan Hasil Tammarin [ Asem ] Dikatakannya Cukup Untuk Mengisi Muatan 1000 Kapal.

 Naskah Kitab Waruga Jagat Dari Sumedang Dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh Dari Ciamis Yang Ditulis Dalam Abad Ke-18 Dalam Bahasa Jawa Dan Huruf Arab-Pegon Masih Menyebut Masa Pemerintahan Sri Baduga Ini Dengan Masa Gemuh Pakuan [ Kemakmuran Pakuan ] Sehingga Tak Mengherankan Bila Hanya Sri Baduga Yang Kemudian Diabadikan Kebesarannya Oleh Raja Penggantinya Dalam Jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja Alias Prabu Siliwangi Yang Dalam Prasasti Tembaga Kebantenan Disebut Susuhuna Di Pakuan Kerajaan Pajajaran, Memerintah Selama 39 Tahun [ 1482 - 1521 ].

  Ia Disebut Secara Anumerta Sang Lumahing [ Sang Mokteng ] Rancamaya Karena Ia Dipusarakan Di Rancamaya. Melihat Itu, Jelas, Bagaimana Rancamaya, Terletak Kira-Kira 7 Km Di Sebelah Tenggara Kota Bogor, Memiliki Nilai Khusus Bagi Orang Sunda. Rancamaya Memiliki Mata Air Yang Sangat Jernih. Tahun 1960-An Di Hulu Cirancamaya Ini Ada Sebuah Situs Makam Kuno Dengan Pelataran Berjari-Jari 7,5 M Tertutup Hamparan Rumput Halus Dan Dikelilingi Rumpun Bambu Setengah Lingkaran. Dekat Makam Itu Terdapat Pohon Hampelas, Patung Badak Setinggi Kira-Kira 25 M Dan Sebuah Pohon Beringin.

  Dewasa Ini Seluruh Situs Sudah "Dihancurkan" Orang. Pelatarannya Ditanami Ubi Kayu, Pohon-Pohonannya Ditebang Dan Makam Kuno Itu Diberi Saung. Di Dalamnya Sudah Bertambah Sebuah Kuburan Baru, Lalu Makam Kunonya Diganti Dengan Bata Pelesteran, Ditambah Bak Kecil Untuk Peziarah Dengan Dinding Yang Dihiasi Huruf Arab. Makam Yang Dikenal Sebagai Makam Embah Punjung Ini Mungkin Sudah Dipopulerkan Orang Sebagai Makam Wali. Kejadian Ini Sama Seperti Kuburan Embah Jepra Pendiri Kampung Paledang Yang Terdapat Di Kebun Raya Yang "Dijual" Orang Sebagai "Makam Raja Galuh".

  Telaga Yang Ada Di Rancamaya, Menurut Pantun Bogor, Asalnya Bernama Rena Wijaya Dan Kemudian Berubah Menjadi Rancamaya. Akan Tetapi, Menurut Naskah Kuno, Penamaannya Malah Dibalik, Setelah Menjadi Telaga Kemudian Dinamai Rena Maha Wijaya [ Terungkap Pada Prasasti ]. "Talaga" [ Sangsakerta "Tadaga" ] Mengandung Arti Kolam. Orang Sunda Biasanya Menyebut Telaga Untuk Kolam Bening Di Pegunungan Atau Tempat Yang Sunyi. Kata Lain Yang Sepadan Adalah Situ [ Sangsakerta, Setu ] Yang Berarti Bendungan.

  Bila Diteliti Keadaan Sawah Di Rancamaya, Dapat Diperkirakan Bahwa Dulu Telaga Itu Membentang Dari Hulu Cirancamaya Sampai Ke Kaki Bukit Badigul Di Sebelah Utara Jalan Lama Yang Mengitarinya Dan Berseberangan Dengan Kampung Bojong. Pada Sisi Utara Lapang Bola Rancamaya Yang Sekarang, Tepi Telaga Itu Bersambung Dengan Kaki Bukit. Bukit Badigul Memperoleh Namanya Dari Penduduk Karena Penampakannya Yang Unik. Bukit Itu Hampir "Gersang" Dengan Bentuk Parabola Sempurna Dan Tampak Seperti "Katel" [ Wajan ] Terbalik. Bukit-Bukit Di Sekitarnya Tampak Subur. Badigul Hanya Ditumbuhi Jenis Rumput Tertentu. Mudah Diduga Bukit Ini Dulu "Dikerok" Sampai Mencapai Bentuk Parabola. Akibat Pengerokan Itu Tanah Suburnya Habis. Badigul Kemungkinan Waktu Itu Dijadikan "Bukit Punden" [ Bukit Pemujaan ] Yaitu Bukit Tempat Berziarah [ Bahasa Sunda, Nyekar Atau Ngembang = Tabur Bunga ]. Kemungkinan Yang Dimaksud Dalam "Rajah Waruga Pakuan" Dengan Sanghiyang Padungkulan Itu Adalah Bukit Badigul Ini.

  Kedekatan Telaga Dengan Bukit Punden Bukanlah Tradisi Baru. Pada Masa Purnawarman, Raja Beserta Para Pembesar Tarumanagara Selalu Melakukan Upacara Mandi Suci Di Gangganadi [ Setu Gangga ] Yang Terletak Dalam Istana Kerajaan Indraprahasta [ Di Cire Irang ]. Setelah Bermandi- Mandi Suci, Raja Melakukan Ziarah Ke Punden-Punden Yang Terletak Dekat Sungai. Spekulasi Lain Mengenai Pengertian Adanya Kombinasi Badigul-Rancamaya Adalah Perpaduan Gunung-Air Yang Berarti Pula Sunda-Galuh.

  Sri Baduga Maharaja Adalah Surawisesa [ Puteranya Dari Mayang Sunda Dan Juga Cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia Dipuji Oleh Carita Parahiyangan Dengan Sebutan "Kasuran" [ Perwira ], "Kadiran" [ Perkasa ] Dan "Kuwanen" [ Pemberani ]. Selama 14 Tahun Memerintah Ia Melakukan 15 Kali Pertempuran. Pujian Penulis Carita Parahiyangan Memang Berkaitan Dengan Hal Ini. Nagara Kretabhumi I/2 Dan Sumber Portugis Mengisahkan Bahwa Surawisesa Pernah Diutus Ayahnya Menghubungi Alfonso d'Albuquerque [ Laksamana Bungker ] Di Malaka. Ia Pergi Ke Malaka Dua Kali [ 1512 Dan 1521 ]. Hasil Kunjungan Pertama Adalah Kunjungan Penjajakan Pihak Portugis Pada Tahun 1513 Yang Diikuti Oleh Tome Pires, Sedangkan Hasil Kunjungan Yang Kedua Adalah Kedatangan Utusan Portugis Yang Dipimpin Oleh Hendrik De Leme [ Ipar Alfonso ] Ke Ibukota Pakuan. Dalam Kunjungan Itu Disepakati Persetujuan Antara Kerajaan Pajajaran Dan Portugis Mengenai Perdagangan Dan Keamanan.

  Dari Perjanjian Ini Dibuat Tulisan Rangkap Dua, Lalu Masing-Masing Pihak Memegang Satu ] Menurut Soekanto [ 1956 ] Perjanjian Itu Ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam Menganggap Bahwa Perjanjian Itu Hanya Lisan. Namun, Sumber Portugis Yang Kemudian Dikutip Hageman Menyebutkan "Van Deze Overeenkomst Werd Een Geschrift Opgemaakt In Dubbel, Waarvan Elke Partij Een Behield". Dalam Perjanjian Itu Disepakati Bahwa Portugis Akan Mendirikan Benteng Di Banten Dan Kalapa. Untuk Itu Tiap Kapal Portugis Yang Datang Akan Diberi Muatan Lada Yang Harus Ditukar Dengan Barang-Barang Keperluan Yang Diminta Oleh Pihak Sunda. Kemudian Pada Saat Benteng Mulai Dibangun, Pihak Sunda Akan Menyerahkan 1000 Karung Lada Tiap Tahun Untuk Ditukarkan Dengan Muatan Sebanyak Dua "Costumodos" [ Kurang Lebih 351 Kuintal ].

  Perjanjian Kerajaan Pajajaran - Portugis Sangat Mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, Pintu Masuk Perairan Nusantara Sebelah Utara Sudah Dikuasai Portugis Yang Berkedudukan Di Malaka Dan Pasai. Bila Selat Sunda Yang Menjadi Pintu Masuk Perairan Nusantara Di Selatan Juga Dikuasai Portugis, Maka Jalur Perdagangan Laut Yang Menjadi Urat Nadi Kehidupan Ekonomi Demak Terancam Putus. Trenggana Segera Mengirim Armadanya Di Bawah Pimpinan Fadillah Khan Yang Menjadi Senapati Demak.

  Fadillah Khan Memperistri Ratu Pembayun, Janda Pangeran Jayakelana. Kemudian Ia Pun Menikah Dengan Ratu Ayu, Janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan Demikian, Fadillah Menjadi Menantu Raden Patah Sekaligus Menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari Segi Kekerabatan, Fadillah Masih Terhitung Keponakan Susuhunan Jati Karena Buyutnya Barkta Zainal Abidin Adalah Adik Nurul Amin, Kakek Susuhunan Jati Dari Pihak Ayah. Selain Itu Fadillah Masih Terhitung Cucu Sunan Ampel [ Ali Rakhmatullah ] Sebab Buyutnya Adalah Kakak Ibrahim Zainal Akbar Ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel Sendiri Adalah Mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian VI

  Barros Menyebut Fadillah Dengan Faletehan. Ini Barangkali Lafal Orang Portugis Untuk Fadillah Khan. Tome Pinto Menyebutnya Tagaril Untuk Ki Fadil [ Julukan Fadillah Khan Sehari-Hari ]. Kretabhumi I/2 Menyebutkan, Bahwa Makam Fadillah Khan [ Disebut Juga Wong Agung Pase ] Terletak Di Puncak Gunung Sembung Berdampingan [ Di Sebelah Timurnya ] Dengan Makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat [ 1913 ] Menganggap Fadillah Identik Dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah Sendiri Baru Muncul Dalam Buku Sejarah Indonesia Susunan Sanusi Pane [ 1950 ]. Carita Parahiyangan Menyebut Fadillah Dengan Arya Burah. Pasukan Fadillah Yang Merupakan Gabungan Pasukan Demak-Cirebon Berjumlah 1967 Orang. Sasaran Pertama Adalah Banten, Pintu Masuk Selat Sunda.

 Kedatangan Pasukan Ini Telah Didahului Dengan Huru-Hara Di Banten Yang Ditimbulkan Oleh Pangeran Hasanudin Dan Para Pengikutnya. Kedatangan Pasukan Fadillah Menyebabkan Pasukan Banten Terdesak. Bupati Banten Beserta Keluarga Dan Pembesar Keratonnya Mengungsi Ke Ibukota Pakuan. Hasanudin Kemudian Diangkat Oleh Ayahnya [ Susuhunan Jati ], Menjadi Bupati Banten [ 1526 ]. Setahun Kemudian, Fadillah Bersama 1452 Orang Pasukannya Menyerang Dan Merebut Pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa Bersama Keluarga Dan Para Menteri Kerajaan Yang Bertugas Di Pelabuhan Gugur. Pasukan Bantuan Dari Pakuan Pun Dapat Dipukul Mundur. Keunggulan Pasukan Fadillah Terletak Pada Penggunaan Meriam Yang Justru Tidak Dimiliki Oleh Laskar Kerajaan Pajajaran.

  Bantuan Portugis Datang Terlambat Karena Francisco De Sa Yang Ditugasi Membangun Benteng Diangkat Menjadi Gubernur Goa Di India. Keberangkatan Ke Sunda Dipersiapkan Dari Goa Dengan 6 Buah Kapal. Galiun Yang Dinaiki De Sa Dan Berisi Peralatan Untuk Membangun Benteng Terpaksa Ditinggalkan Karena Armada Ini Diterpa Badai Di Teluk Benggala. De Sa Tiba Di Malaka Tahun 1527. Ekspedsi Ke Sunda Bertolak Dari Malaka. Mula-Mula Menuju Banten, Akan Tetapi Karena Banten Sudah Dikuasai Hasanudin, Perjalanan Dilanjutkan Ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa Memancangkan Padrao Pada Tanggal 30 Juni 1527 Dan Memberikan Nama Kepada Cisadane "Rio De Sa Jorge".

  Kemudian Galiun De Sa Memisahkan Diri. Hanya Kapal Brigantin [ Dipimpin Duarte Coelho ] Yang Langsung Ke Pelabuhan Kalapa. Coelho Terlambat Mengetahui Perubahan Situasi, Kapalnya Menepi Terlalu Dekat Ke Pantai Dan Menjadi Mangsa Sergapan Pasukan Fadillah. Dengan Kerusakan Yang Berat Dan Korban Yang Banyak, Kapal Portugis Ini Berhasil Meloloskan Diri Ke Pasai. Tahun 1529 Portugis Menyiapkan 8 Buah Kapal Untuk Melakukan Serangan Balasan, Akan Tetapi Karena Peristiwa 1527 Yang Menimpa Pasukan Coelho Demikian Menakutkan, Maka Tujuan Armada Lalu Di Ubah Menuju Pedu.

  Setelah Sri Baduga Wafat, Kerajaan Pajajaran Dengan Cirebon Berada Pada Generasi Yang Sejajar. Meskipun Yang Berkuasa Di Cirebon Syarif Hidayat, Tetapi Dibelakangnya Berdiri Pangeran Cakrabuana [ Walasungsang Atau Bernama Pula Haji Abdullah Iman ]. Cakrabuana Adalah Kakak Seayah Prabu Surawisesa. Dengan Demikian, Keengganan Cirebon Menjamah Pelabuhan Atau Wilayah Lain Di Kerajaan Pajajaran Menjadi Hilang. Meskipun, Cirebon Sendiri Sebenarnya Relatif Lemah. Akan Tetapi Berkat Dukungan Demak, Kedudukannya Menjadi Mantap. Setelah Kedudukan Demak Goyah Akibat Kegagalan Serbuannya Ke Pasuruan Dan Panarukan [ Bahkan Sultan Trenggana Terbunuh ], Kemudian Disusul Dengan Perang Perebutan Tahta, Maka Cirebon Pun Turut Menjadi Goyah Pula. Hal Inilah Yang Menyebabkan Kedudukan Cirebon Terdesak Dan Bahkan Terlampaui Oleh Banten Di Kemudian Hari.

  Perang Cirebon - Kerajaan Pajajaran Berlangsung 5 Tahun Lamanya. Yang Satu Tidak Berani Naik Ke Darat, Yang Satunya Lagi Tak Berani Turun Ke Laut. Cirebon Dan Demak Hanya Berhasil Menguasai Kota-Kota Pelabuhan. Hanya Di Bagian Timur Pasukan Cirebon Bergerak Lebih Jauh Ke Selatan. Pertempuran Dengan Galuh Terjadi Tahun 1528. Di Sini Pun Terlihat Peran Demak Karena Kemenangan Cirebon Terjadi Berkat Bantuan Pasukan Meriam Demak Tepat Pada Saat Pasukan Cirebon Terdesak Mundur. Laskar Galuh Tidak Berdaya Menghadapi "Panah Besi Yang Besar Yang Menyemburkan Kukus Ireng Dan Bersuara Seperti Guntur Serta Memuntahkan Logam Panas". Tombak Dan Anak Panah Mereka Lumpuh Karena Meriam. Maka Jatuhlah Galuh. Dua Tahun Kemudian Jatuh Pula Kerajaan Talaga, Benteng Terakhir Kerajaan Galuh.

  Sumedang Masuk Ke Dalam Lingkaran Pengaruh Cirebon Dengan Dinobatkannya Pangeran Santri Menjadi Bupati Sumedang Pada Tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri Adalah Cucu Pangeran Panjunan, Kakak Ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri Adalah Syekh Datuk Kahfi Pendiri Pesantren Pertama Di Cirebon. Ia Menjadi Bupati Karena Pernikahannya Dengan Satyasih, Pucuk Umum [ Unun? ] Sumedang. Secara Tidak Resmi Sumedang Menjadi Daerah Cirebon. Dengan Kedudukan Yang Mantap Di Timur Citarum, Cirebon Merasa Kedudukannya Mapan. Selain Itu, Karena Gerakan Ke Pakuan Selalu Dapat Dibendung Oleh Pasukan Surawisesa, Maka Kedua Pihak Mengambil Jalan Terbaik Dengan Berdamai Dan Mengakui Kedudukan Masing-Masing. Tahun 1531 Tercapai Perdamaian Antara Surawisesa Dan Syarif Hidayat. Masing-Masing Pihak Berdiri Sebagai Negara Merdeka. Di Pihak Cirebon, Ikut Menandatangani Naskah Perjanjian, Pangeran Pasarean [ Putera Mahkota Cirebon ], Fadillah Khan Dan Hasanudin [ Bupati Banten ].

  Perjanjian Damai Dengan Cirebon Memberikan Peluang Kepada Surawisesa Untuk Mengurus Dalam Negerinya. Setelah Berhasil Memadamkan Beberapa Pemberontakkan, Ia Berkesempatan Menerawang Situasi Dirinya Dan Kerajaannya. Warisan Dari Ayahnya Hanya Tinggal Setengahnya, Itupun Tanpa Pelabuhan Pantai Utara Yang Pernah Memperkaya Kerajaan Pajajaran Dengan Lautnya. Dengan Dukungan 1.000 Orang Pasukan Belamati Yang Setia Kepadanyalah, Ia Masih Mampu Mempertahankan Daerah Inti Kerajaannya.

  Dalam Suasana Seperti Itulah Ia Mengenang Kebesaran Ayahandanya. Perjanjian Damai Dengan Cirebon Memberi Kesempatan Kepadanya Untuk Menunjukkan Rasa Hormat Terhadap Mendiang Ayahnya. Mungkin Juga Sekaligus Menunjukkan Penyesalannya Karena Ia Tidak Mampu Mempertahankan Keutuhan Wilayah Pakuan Kerajaan Pajajaran Yang Diamanatkan Kepadanya. Dalam Tahun 1533, Tepat 12 Tahun Setelah Ayahnya Wafat, Ia Membuat Sasakala [ Tanda Peringatan ] Buat Ayahnya. Ditampilkannya Di Situ Karya-Karya Besar Yang Telah Dilakukan Oleh Susuhunan Kerajaan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis Yang Diletakkannya Di Kabuyutan Tempat Tanda Kekuasaan Sri Baduga Yang Berupa Lingga Batu Ditanamkan. Penempatannya Sedemikian Rupa Sehingga Kedudukan Antara Anak Dengan Ayah Amat Mudah Terlihat. Si Anak Ingin Agar Apa Yang Dipujikan Tentang Ayahnya Dengan Mudah Dapat Diketahui [ Dibaca ] Orang. Ia Sendiri Tidak Berani Berdiri Sejajar Dengan Si Ayah. Demikianlah, Batutulis Itu Diletakkan Agak Ke Belakang Di Samping Kiri Lingga Batu.

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian VII

 Surawisesa Tidak Menampilkan Namanya Dalam Prasasti. Ia Hanya Meletakkan Dua Buah Batu Di Depan Prasasti Itu. Satu Berisi Astatala Ukiran Jejak Tangan, Yang Lainnya Berisi Padatala Ukiran Jejak Kaki. Mungkin Pemasangan Batutulis Itu Bertepatan Dengan Upacara Srada Yaitu "Penyempurnaan Sukma" Yang Dilakukan Setelah 12 Tahun Seorang Raja Wafat. Dengan Upacara Itu, Sukma Orang Yang Meninggal Dianggap Telah Lepas Hubungannya Dengan Dunia Materi. Surawisesa Dalam Kisah Tradisional Lebih Dikenal Dengan Sebutan Guru Gantangan Atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, Berasal Dari Kerajaan Tanjung Barat Yang Terletak Di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sekarang. Kinawati Adalah Puteri Mental Buana, Cicit Munding Kawati Yang Kesemuanya Penguasa Di Tanjung Barat.

 Baik Pakuan Maupun Tanjung Barat Terletak Di Tepi Ciliwung. Diantara Dua Kerajaan Ini Terletak Kerajaan Kecil Muara Beres Di Desa Karadenan [ Dahulu Kawung Pandak ]. Di Muara Beres In Bertemu Silang Jalan Dari Pakuan Ke Tanjung Barat Terus Ke Pelabuhan Kalapa Dengan Jalan Dari Banten Ke Daerah Karawang Dan Cianjur. Kota Pelabuhan Sungai Ini Jaman Dahulu Merupakan Titik Silang. Menurut Catatan VOC Tempat Ini Terletak 11/2 Perjalanan Dari Muara Ciliwung Dan Disebut Jalan Banten Lama [ Oude Bantamsche Weg ]. Surawisesa Memerintah Selama 14 Tahun Lamanya. Dua Tahun Setelah Ia Membuat Prasasti Sebagai Sasakala Untuk Ayahnya, Ia Wafat Dan Dipusarakan Di Padaren. Di Antara Raja-Raja Jaman Kerajaan Pajajaran, Hanya Dia Dan Ayahnya Yang Menjadi Bahan Kisah Tradisional, Baik Babad Maupun Pantun. Babad Kerajaan Pajajaran Atau Babad Pakuan, Misalnya, Semata Mengisahkan "Petualangan" Surawisesa [ Guru Gantangan ] Dengan Cerita Panji.

  Surawisesa Digantikan Oleh Puteranya, Ratu Dewata [ 1535 - 1534 ]. Berbeda Dengan Surawisesa Yang Dikenal Sebagai Panglima Perang Yang Perwira, Perkasa Dan Pemberani, Ratu Dewata Sangat Alim Dan Taat Kepada Agama. Ia Melakukan Upacara Sunatan [ Adat Khitan Pra-Islam ] Dan Melakukan Tapa Pwah-Susu, Hanya Makan Buah-Buahan Dan Minum Susu. Menurut Istilah Kiwari Vegetarian. Resminya Perjanjian Perdamaian Kerajaan Pajajaran-Cirebon Masih Berlaku. Tetapi Ratu Dewata Lupa Bahwa Sebagai Tunggul Negara Ia Harus Tetap Bersiaga. Ia Kurang Mengenal Seluk-Beluk Politik.

  Hasanudin Dari Banten Sebenarnya Ikut Menandatangani Perjanjian Perdamaian Kerajaan Pajajaran-Cirebon, Akan Tetapi Itu Dia Lakukan Hanya Karena Kepatuhannya Kepada Siasat Ayahnya [ Susuhunan Jati ] Yang Melihat Kepentingan Wilayah Cirebon Di Sebelah Timur Citarum. Secara Pribadi Hasanudin Kurang Setuju Dengan Perjanjian Itu Karena Wilayah Kekuasaannya Berbatasan Langsung Dengan Kerajaan Pajajaran. Maka Secara Diam-Diam Ia Membentuk Pasukan Khusus Tanpa Identitas Resmi Yang Mampu Bergerak Cepat. Kemampuan Pasukan Banten Dalam Hal Bergerak Cepat Ini Telah Dibuktikannya Sepanjang Abad Ke-18 Dan Merupakan Catatan Khusus Belanda, Terutama Gerakan Pasukan Syekh Yusuf. Menurut Carita Parahiyangan, Pada Masa Pemerintahan Ratu Dewata Ini Terjadi Serangan Mendadak Ke Ibukota Pakuan Dan Musuh "Tambuh Sangkane" [ Tidak Dikenal Asal-Usulnya ].

  Ratu Dewata Masih Beruntung Karena Memiliki Para Perwira Yang Pernah Mendampingi Ayahnya Dalam 15 Kali Pertempuran. Sebagai Veteran Perang, Para Perwira Ini Masih Mampu Menghadapi Sergapan Musuh. Di Samping Itu, Ketangguhan Benteng Pakuan Peninggalan Sri Baduga Menyebabkan Serangan Kilat Banten [ Dan Mungkin Dengan Kalapa ] Ini Tidak Mampu Menembus Gerbang Pakuan. Alun-Alun Empang Sekarang Pernah Menjadi Ranamandala [ Medan Pertempuran ] Mempertaruhkan Sisa-Sisa Kebesaran Siliwangi Yang Diwariskan Kepada Cucunya. Penyerang Tidak Berhasil Menembus Pertahanan Kota, Tetapi Dua Orang Senapati Kerajaan Pajajaran Gugur, Yaitu Tohaan Ratu Sangiang Dan Tohaan Sarendet.

  Kokohnya Benteng Pakuan Adalah Pertama Merupakan Jasa Banga Yang Pada Tahun 739 Menjadi Raja Di Pakuan Yang Merupakan Bawahan Raja Galuh. Ia Ketika Itu Berusaha Membebaskan Diri Dari Kekuasaaan Manarah Di Galuh. Ia Berhasil Setelah Berjuang Selama 20 Tahun Dan Keberhasilannya Itu Di Awali Dengan Pembuatan Parit Pertahanan Kota. Kemudian Keadaan Pakuan Ini Diperluas Pada Jaman Sri Baduga Seperti Yang Bisa Ditemukan Pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 Yang Isinya :

 "Sang Maharaja Membuat Karya Besar, Yaitu Membangun Telaga Besar Yang Bernama Maharena Wijaya, Membuat Jalan Yang Menuju Ke Ibukota Pakuan Dan Jalan Ke Wanagiri, Memperteguh Kedatuan, Memberikan Desa [ Perdikan ] Kepada Semua Pendeta Dan Pengiringnya Untuk Menggairahkan Kegiatan Agama Yang Menjadi Penuntun Kehidupan Rakyat. Kemudian Membuat Kaputren [ Tempat Isteri-Isteri-Nya ], Kesatrian [ Asrama Prajurit ], Satuan-Satuan Tempat [ Pageralaran ], Tempat-Tempat Hiburan, Memperkuat Angkatan Perang, Memungut Upeti Dari Raja-Raja Bawahan Dan Kepala-Kepala Desa Dan Menyusun Undang-Undang Kerajaan Pajajaran"

 Amateguh Kedatwan [ Memperteguh Kedatuan ] Sejalan Dengan Maksud "Membuat Parit" [ Memperteguh Pertahanan ] Pakuan, Bukan Saja Karena Kata Pakuan Mempunyai Arti Pokok Keraton Atau Kedatuan, Melainkan Kata Amateguh Menunjukkan Bahwa Kata Kedatuan Dalam Hal Ini Kota Raja. Jadi Sama Dengan Pakuan Dalam Arti Ibukota.

  Selain Hal Di Atas, Juga Lokasi Pakuan Yang Berada Pada Posisi Yang Disebut Lemah Duwur Atau Lemah Luhur [ Dataran Tinggi, Oleh Van Riebeeck Disebut "Bovenvlakte" ]. Pada Posisi Ini, Mereka Tidak Berlindung Di Balik Bukit, Melainkan Berada Di Atas Bukit. Pasir Muara Di Cibungbulang Merupakan Contoh Bagaimana Bukit Rendah Yang Dikelilingi Tiga Batang Sungai Pernah Dijadikan Pemukiman "Lemah Duwur" Sejak Beberapa Ratus Tahun Sebelum Masehi. Lokasi Pakuan Merupakan Lahan Lemah Duwur Yang Satu Sisinya Terbuka Menghadap Ke Arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane Dan Cipaku Merupakan Pelindung Alamiah. Tipe Lemah Duwur Biasanya Dipilih Sama Masyarakat Dengan Latar Belakang Kebudayaan Huma [ Ladang ]. Kota-Kota Yang Seperti Ini Adalah Bogor, Sukabumi Dan Cianjur.

  Kota Seperti Ini Biasanya Dibangun Dengan Konsep Berdasarkan Pengembangan Perkebunan. Tipe Lain Adalah Apa Yang Disebut Garuda Ngupuk. Tipe Seperti Ini Biasanya Dipilih Oleh Masyarakat Dengan Latar Belakang Kebudayaan Sawah. Mereka Menganggap Bahwa Lahan Yang Ideal Untuk Pusat Pemerintahan Adalah Lahan Yang Datar, Luas, Dialiri Sungai Dan Berlindung Di Balik Pegunungan. Kota-Kota Yang Dikembangkan Dengan Corak Ini Misalnya Garut, Bandung Dan Tasikmalaya. Sumedang Memiliki Dua Persyaratan Tipe Ini. Kutamaya Dipilih Oleh Pangeran Santri Menurut Idealisme Pesisir Cirebon Karena Ia Orang Sindangkasih [ Majalengka ] Yang Selalu Hilir Mudik Ke Cirebon. Baru Pada Waktu Kemudian Sumedang Dikukuhkan Dengan Pola Garuda Ngupuk Pada Lokasi Pusat Kota Sumedang Yang Sekarang.

  Gagal Merebut Benteng Kota, Pasukan Penyerbu Ini Dengan Cepat Bergerak Ke Utara Dan Menghancurkan Pusat-Pusat Keagamaan Di Sumedeng, Ciranjang Dan Jayagiri Yang Dalam Jaman Sri Baduga Merupakan Desa Kawikuan Yang Dilindungi Oleh Negara. Sikap Ratu Dewata Yang Alim Dan Rajin Bertapa, Menurut Norma Kehidupan Jaman Itu Tidak Tepat Karena Raja Harus "Memerintah Dengan Baik". Tapa-Brata Seperti Yang Dilakukannya Itu Hanya Boleh Dilakukan Setelah Turun Tahta Dan Menempuh Kehidupan Manurajasuniya Seperti Yang Telah Dilakukan Oleh Wastu Kancana. Karena Itulah Ratu Dewata Dicela Oleh Penulis Carita Parahiyangan Dengan Sindiran :

 "Nya Iyatna-Yatna Sang Kawuri, Haywa Ta Sira Kabalik Pupuasaan"

 [ Maka Berhati-Hatilan Yang Kemudian, Janganlah Engkau Berpura-Pura Rajin Puasa ].

 Penulis Kisah Kuno Itu Melihat Bahwa Kealiman Ratu Dewata Itu Disebabkan Karena Ia Tidak Berani Menghadapi Kenyataan. Penulis Kemudian Berkomentar Pendek "Samangkana Ta Precinta" [ Begitulah Jaman Susah ].

Sejarah KERAJAAN PAJAJARAN #Bagian VIII

Raja Kerajaan Pajajaran Keempat Adalah Ratu Sakti [ 1543 - 1551 ]. Untuk Mengatasi Keadaan Yang Ditinggalkan Ratu Dewata Yang Bertindak Serba Alim, Ia Bersikap Keras Bahkan Akhirnya Kejam Dan Lalim. Dengan Pendek Carita Parahiyangan Melukiskan Raja Ini. Banyak Rakyat Dihukum Mati Tanpa Diteliti Lebih Dahulu Salah Tidaknya. Harta Benda Rakyat Dirampas Untuk Kepentingan Keraton Tanpa Rasa Malu Sama Sekali. Kemudian Raja Ini Melakukan Pelanggaran Yang Sama Dengan Dewa Niskala Yaitu Mengawini "Estri Larangan Ti Kaluaran" [ Wanita Pengungsi Yang Sudah Bertunangan ]. Masih Ditambah Lagi Dengan Berbuat Skandal Terhadap Ibu Tirinya Yaitu Bekas Para Selir Ayahnya. Karena Itu Ia Diturunkan Dari Tahta Kerajaan. Ia Hanya Beruntung Karena Waktu Itu Sebagian Besar Pasukan Hasanuddin Dan Fadillah Sedang Membantu Sultan Trenggana Menyerbu Pasurua Dan Panarukan. Setelah Meninggal, Ratu Sakti Dipusarakan Di Pengpelengan.

 Nilakendra Atau Tohaan Di Majaya Naik Tahta Sebagai Penguasa Kerajaan Pajajaran Yang Kelima [ 1551 - 1567 ]. Pada Saat Itu Situasi Kenegaraan Telah Tidak Menentu Dan Frustasi Telah Melanda Segala Lapisan Masyarakat. Carita Parahiyangan Memberitakan Sikap Petani "Wong Huma Darpa Mamangan, Tan Igar Yan Tan Pepelakan" [ Petani Menjadi Serakah Akan Makanan, Tidak Merasa Senang Bila Tidak Bertanam Sesuatu ]. Ini Merupakan Berita Tidak Langsung, Bahwa Kelaparan Telah Berjangkit. Frustasi Di Lingkungan Kerajaan Lebih Parah Lagi. Ketegangan Yang Mencekam Menghadapi Kemungkinan Serangan Musuh Yang Datang Setiap Saat Telah Mendorong Raja Beserta Para Pembesarnya Memperdalam Aliran Keagamaan Tantra. Aliran Ini Mengutamakan Mantera-Mantera Yang Terus Menerus Diucapkan Sampai Kadang-Kadang Orang Yang Bersangkutan Merasa Bebas Dari Keadaan Di Sekitarnya. Seringkali, Untuk Mempercepat Keadaan Tidak Sadar Itu, Digunakan Minuman Keras Yang Didahului Dengan Pesta Pora Makanan Enak.

 "Lawasnya Ratu Kampa Kalayan Pangan, Tatan Agama Gyan Kewaliya Mamangan Sadrasa Nu Surup Ka Sangkan Beuanghar"

 [ Karena Terlalu Lama Raja Tergoda Oleh Makanan, Tiada Ilmu Yang Disenanginya Kecuali Perihal Makanan Lezat Yang Layak Dengan Tingkat Kekayaan ].

 Selain Itu, Nilakendra Malah Memperindah Keraton, Membangun Taman Dengan Jalur-Jalur Berbatu [ "Dibalay" ] Mengapit Gerbang Larangan. Kemudian Membangun "Rumah Keramat" [ Bale Bobot ] Sebanyak 17 Baris Yang Ditulisi Bermacam-Macam Kisah Dengan Emas. Mengenai Musuh Yang Harus Dihadapinya, Sebagai Penganut Ajaran Tantra Yang Setia, Ia Membuat Sebuah "Bendera Keramat" [ "Ngibuda Sanghiyang Panji" ]. Bendera Inilah Yang Diandalkannya Menolak Musuh. Meskipun Bendera Ini Tak Ada Gunanya Dalam Menghadapi Laskar Banten Karena Mereka Tidak Takut Karenanya. Akhirnya Nasib Nilakendra Dikisahkan "Alah Prangrang, Maka Tan Nitih Ring Kadatwan" [ Kalah Perang, Maka Ia Tidak Tinggal Di Keraton ].

 Nilakendra Sejaman Dengan Panembahan Hasanudin Dari Banten Dan Bila Diteliti Isi Buku Sejarah Banten Tentang Serangan Ke Pakuan Yang Ternyata Melibatkan Hasanudin Dengan Puteranya Yusuf, Dapatlah Disimpulkan, Bahwa Yang Tampil Ke Depan Dalam Serangan Itu Adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa Kekalahan Nilakendra Ini Terjadi Ketika Susuhunan Jati Masih Hidup [ Ia Baru Wafat Tahun 1568 Dan Fadillah Wafat 2 Tahun Kemudian ]. Sejak Saat Itu Ibukota Pakuan Telah Ditinggalkan Oleh Raja Dan Dibiarkan Nasibnya Berada Pada Penduduk Dan Para Prajurit Yang Ditinggalkan. Namun Ternyata Pakuan Sanggup Bertahan 12 Tahun Lagi.

  Raja Kerajaan Pajajaran Yang Terakhir Adalah Nusya Mulya [ Menurut Carita Parahiyangan ] 1567 - 1579. Dalam Naskah-Naskah Wangsakerta Ia Disebut Raga Mulya Alias Prabu Suryakancana. Raja Ini Tidak Berkedudukan Di Pakuan, Tetapi Di Pulasari, Pandeglang. Oleh Karena Itu, Ia Disebut Pucuk Umun [ Panembahan ] Pulasari. Mungkin Raja Ini Berkedudukan Di Kaduhejo, Kecamatan Menes Pada Lereng Gunung Palasari.

 Menurut Pustaka Nusantara III/1 Dan Kretabhumi I/2 :
 "Kerajaan Pajajaran Sirna Ing Ekadaca Cuklapaksa Weshakamasa Sewu Limang Atus Punjul Siki Ikang Cakakala"
 [ Kerajaan Pajajaran Lenyap Pada Tanggal 11 Bagian Terang Bulan Wesaka Tahun 1501 Saka ]. Kira-Kira Jatuh Pada Tanggal 8 Mei 1579 M.
 Sejarah Banten Memberitakan Keberangkatan Pasukan Banten Ketika Akan Melakukan Penyerangan Ke Pakuan Dalam Pupuh Kinanti :
 "Waktu Keberangkatan Itu Terjadi Bulan Muharam Tepat Pada Awal Bulan Hari Ahad Tahun Alif Inilah Tahun Sakanya Satu Lima Kosong Satu".
 Walaupun Tahun Alief Baru Digunakan Oleh Sultan Agung Mataram Dalam Tahun 1633 M, Namun Dengan Perhitungan Mundur, Tahun Kejatuhan Pakuan 1579 Itu Memang Akan Jatuh Pada Tahun Alif. Yang Keliru Hanyalah Hari, Sebab Dalam Periode Itu, Tanggal Satu Muharam Tahun Alif Akan Jatuh Pada Hari Sabtu.

  Yang Penting Dari Naskah Banten Tersebut Adalah Memberitakan, Bahwa Benteng Kota Pakuan Baru Dapat Dibobol Setelah Terjadi "Penghianatan". Komandan Kawal Benteng Pakuan Merasa Sakit Hati Karena "Tidak Memperoleh Kenaikan Pangkat". Ia Adalah Saudara Ki Jongjo, Seorang Kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah Malam, Ki Jongjo Bersama Pasukan Khusus Menyelinap Ke Dalam Kota Setelah Pintu Benteng Terlebih Dahulu Dibukakan Saudaranya Itu. Kisah Itu Mungkin Benar Mungkin Tidak. Yang Jelas Justeru Menggambarkan Betapa Tangguhnya Benteng Pakuan Yang Dibuat Siliwangi. Setelah Ditinggalkan Oleh Raja Selama 12 Tahun, Pasukan Banten Masih Terpaksa Menggunakan Cara Halus Untuk Menembusnya. Dan Berakhirlah Jaman Kerajaan Pajajaran [ 1482 - 1579 ].

  Itu Ditandai Dengan Diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, Tempat Duduk Kala Seorang Raja Dinobatkan, Dari Pakuan Ke Surasowan Di Banten Oleh Pasukan Maulana Yusuf. Batu Berukuran 200 X 160 X 20 Cm Itu Terpaksa Di Boyong Ke Banten Karena Tradisi Politik Waktu Itu "Mengharuskan" Demikian. Pertama, Dengan Dirampasnya Palangka Tersebut, Di Pakuan Tidak Mungkin Lagi Dinobatkan Raja Baru. Kedua, Dengan Memiliki Palangka Itu, Maulana Yusuf Merupakan Penerus Kekuasaan Kerajaan Pajajaran Yang "Sah" Karena Buyut Perempuannya Adalah Puteri Sri Baduga Maharaja.

 Dalam Carita Parahiyangan Diberitakan Sebagai Berikut:

 "Sang Susuktunggal Inyana Nu Nyieuna Palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji Di Pakwan Kerajaan Pajajaran Nu Mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, Inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata"

 [ Sang Susuktunggal Ialah Yang Membuat Tahta Sriman Sriwacana [ Untuk ] Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa Di Pakuan Kerajaan Pajajaran Yang Bersemayam Di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati Yaitu Istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata ].

 Kata Palangka Secara Umum Berarti Tempat Duduk [ Pangcalikan ]. Bagi Raja Berarti Tahta. Dalam Hal Ini Adalah Tahta Penobatanya itu Tempat Duduk Khusus Yang Hanya Digunakan Pada Upacara Penobatan. Di Atas Palangka Itulah Si [ Calon ] Raja Diberkati [ Diwastu ] Oleh Pendeta Tertinggi. Tempatnya Berada Di Kabuyutan Kerajaan, Tidak Di Dalam Istana. Sesuai Dengan Tradisi, Tahta Itu Terbuat Dari Batu Dan Digosok Halus Mengkilap. Batu Tahta Seperti Ini Oleh Penduduk Biasanya Disebut Batu Pangcalikan Atau Batu Ranjang [ Bila Kebetulan Dilengkapi Dengan Kaki Seperti Balai-Balai Biasa ]. Batu Pangcalikan Bisa Ditemukan, Misalnya Di Makam Kuno Dekat Situ Sangiang Di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya Dan Di Karang Kamulyan Bekas Pusat Kerajaan Galuh Di Ciamis. Sementara Batu Ranjang Dengan Kaki Berukir Dapat Ditemukan Di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang [ Pada Petakan Sawah Yang Terjepit Pohon ]. Palangka Sriman Sriwacana Sendiri Saat Ini Bisa Ditemukan Di Depan Bekas Keraton Surasowan Di Banten. Karena Mengkilap, Orang Banten Menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang Berarti Mengkilap Atau Berseri, Sama Artinya Dengan Kata Sriman.

Kian Santang, Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah

Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Kisah Cerita Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; grahaartinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi namaNagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana.Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Demikianlah menyajikan Kisah Cerita Kian Santang, Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah. Semoga para pembaca sekalian bisa mencari hikmah dari kisah cerita ini dan menjadikan hidup kita ini penuh dengan kebermaknaan hidup. Salam pecinta cerita rakyat