Saadat Padjadjaran
Ashadu sahadat islam,
Sarsilah gusti panutan,
Panut pangkon pangandika,
Kanjeng gusti rosul,
Anembah guru,
Anembah ratu,
Anembah telekon agama islam,
Syeh haji kuncung putih,
Kian santang
kan lumejang,
Kudrat yaa insun qursy Allah,



Susuci
Sri suci tunggal sabangsa,
Banyu suci tungggal sabangsa,
Geni suci tunggal sabangsa,
Braja suci tunggal sabangsa,
Suka suci mulya badan sampurna,
Sampurna kersaning allah ta'ala,
Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.

Translate

Kamis, 14 Maret 2013

LEGENDA LUTUNG KASARUNG

Bermula dari Nagari Kahyangan dibawah Sunan Ambu. Abad ini tahun 104 Candra Kala, Zaman Megalitikum. Kemudian, Sunan Ambu mencipta seorang Prabu yang bernama Prabu Lutung Kasarung dan Budak Manjor.
Di bumi sudah ada Negara Pasir Batangan disekitar Gunung Bundar berdekatan di kaki Gunung Salak, Bogor. Hal ini dalam pantun kuno disebutkan ada 7 putri nan cantik rupawan.

1. Nyi Mas Purba Larang
2. Nyi Mas Purba Endah
3. Nyi Mas Purba Leuwih Ningsih
4. Nyi Mas Purba Kencana
5. Nyi Mas Purba Manik Maya
6. Nyi Mas Purba Leutik
7. Nyi Mas Purbasari

Negara Pasir Batangan memiliki seorang Adipati yang bernama Lembu Halang yang sakti mandraguna dan dipimpin oleh Rajanya bernama Prabu Purba Kencana dengan permaisurinya Nyi Mas Larasarkati.
Terjadilah perkawinan antara Prabu Indra Prahasta dengan Nyi Mas Purba Larang dan Prabu Lutung Kasarung dengan Nyi Mas Purbasari. Prabu Lutung Kasarung diasuh oleh Aki Kolot Penyumpit dan Nini Kolot Penyumpit.

Dari perkawinan Prabu Indra Prahasta dengan Nyi Mas Purba Larang, melahirkan:
1. Uyut Tirem
2. Aki Raga Mulya

Dari perkawinan antara Prabu Lutung Kasarung dan Nyi Mas Purbasari, melahirkan:
1. Prabu Bathara Gung Binathara Kusuma Adjar Padangi
2. Nyi Mas Ratu Banjaransari

Kemudian Prabu Gung Binathara Kusuma Padangi membuat situs menhir sebagai tempat persembahan kepada leluhur Nagari Kahyangan yang terletak di Salaka Dhomas, Bogor. Kemudian Prabu Gung Binathara membuat istana kerajaan dari batu yang terletak di Gunung Padangi antara Cianjur dan Sukabumi, yang disebut Batu Menhir Megalitikum dengan nama kerajaannya adalah Medang Kamulan I.
Prabu Bathara Gung Binathara mempunyai putra dua:

1. Prabu Angling Dharma Mandalawangi diperintahkan untuk membuat situs di Gunung Pulosari, Desa Mandalawangi Banten (Medang Kamulan II).

2. Nyi Mas Nila Sastra Ayu Jendrat ditugaskan untuk membuat kitab para Dewa Nila Sastra Ayu Jendrat (Kitab aturan dewata yang memuat Pituduh, Pitutur, Pibekaleun).

Tahun 78 M, Prabu Gung Binathara menciptakan Aji Purwa Wisesa sejumlah 18 huruf yang berbunyi:
HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA JA YA NYA MA GA BA NGA
Pada tahun 130 M, Prabu Angling Dharma membuat wilayah kekuasaan dan keraton sampai ke pedalaman Banten (Lebak) dan Ujung Kulon. Di kemudian hari terkenal dengan nama HYANG SIRA atau EYANG JANGKUNG; disebut Eyang Jangkung karena memapas gunung Pulosari yang menghalangi penglihatannya dimana kuncup Pulosari dibuang ke laut sehingga menjadi gunung Krakatau.
Pada tahun 170 M, Ratu Gung Binathara Kusuma Adjar Padangi mencipta batu sebesar rumah (jika diukur sebesar rumah tipe 200) yang berlokasi di desa Cibulan, Cisarua yang saat ini dikenal dengan sebutan Maqom (petilasan) Wali Cipta Mangun Negara dan Nyi Mas Cipta Rasa.
Antara Salaka Dhomas dengan Situs Magalitikum Gunung Padang di Cianjur dengan batu menhir Megalitikum di Pulosari dan dengan Batu di Wali Cipta Mangun Negara, semuanya memiliki satu kesatuan dan kesamaan masa.
__________________________________________________ ___________

Bukti-bukti Sejarah Peninggalan Salakanagara:

a.) Menhir Cihunjuran; berupa Menhir sebanyak tiga buah terletak di sebuah mata air, yang pertama terletak di wilayah Desa Cikoneng. Menhir kedua terletak di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari. Menhir ketiga terletak di Kecamatan Saketi lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang.
Tanpa memberikan presisi dimensi dan lokasi administratif, tetapi dalam peta tampak berada di lereng sebelah barat laut gunung Pulosari, tidak jauh dari kampung Cilentung, Kecamatan Saketi. Batu tersebut menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis dan Batu Tulis di Bogor. Tradisi setempat menghubungkan batu ini sebagai tempat Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umum.

b.) Dolmen; terletak di kampung Batu Ranjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Berbentuk sebuah batu datar panjang 250 cm, dan lebar 110 cm, disebut Batu Ranjang. Terbuat dari batu andesit yang dikerjakan sangat halus dengan permukaan yang rata dengan pahatan pelipit melingkar ditopang oleh empat buah penyangga yang tingginya masing-masing 35 cm. Di tanah sekitarnya dan di bagian bawah batu ada ruang kosong. Di bawahnya terdapat fondasi dan batu kali yang menjaga agar tiang penyangga tidak terbenam ke dalam tanah. Dolmen ditemukan tanpa unsur megalitik lain, kecuali dua buah batu berlubang yang terletak di sebelah timurnya.

c.) Batu Magnit; terletak di puncak Gunung Pulosari, pada lokasi puncak Rincik Manik, Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Yaitu sebuah batu yang cukup unik, karena ketika dilakukan pengukuran arah dengan kompas, meskipun ditempatkan di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu tersebut.

d.) Batu Dakon; Terletak di Kecamatan Mandalawangi, tepatnya di situs Cihunjuran. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan

e.) Air Terjun Curug Putri; terletak di lereng Gunung Pulosari Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.

f.) Pemandian Prabu Angling Dharma; terletak di situs Cihunjuran Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, pemandian ini dulunya digunakan oleh Prabu Angling Dharma atau Aki Tirem atau Wali Jangkung.

SEJARAH YANG ADA DI KABUPATEN CIAMIS

ASTANA GEDE KAWALI

Kita semua, tentu sudah mengetahui peninggalan purbakala yang terletak di Astana Gede Kawali. Ada pendapat mengatakan bahwa Astana Gede Kawali pada jaman dahulu merupakan  tempat pemujaan atau disebut juga Bale Kabuyutan. Hal ini mungkin dapat kita lihat dari adanya tinggalan budaya seperti menhir, lingga dan yoni. Di samping itu terdapat pula beberapa pepatah dan petunjuk.
Sebagai pusat pemerintahan, raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa, yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding, kemudian Prabu Ragamulya atau aki kolot, setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat, Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada di sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis, yakni di Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan motor ataupun mobil lamanya sekitar (45) empat puluh lima menit. Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan, sehingga tidak sulit dijangkau.
Luas area lokasi peninggalan purbakala ini adalah 5 Ha, disekelilingnya rimbun dengan pepohonan. Keadaan alamnya cukup nyaman dan sejuk sehingga memberi kesan menyenangkan kepada setiap pengunjung.
Letaknya berada di kaki Gunung Sawal disebelah selatannya sungai Cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, di sebelah timur berupa parit kecil dari sungai Cimuntur yang mengalir dari Utara ke Selatan, sebelah Utara Sungai Cikadondong dan sebelah Barat Sungai Cigarunggang. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras diantaranya termasuk familia Meliceae, Lacocarpaceae, Euphorbiaceae, Sapidanceae dan lain-lain, juga tanaman Palawija, Rotan, Salak, Padi, Cengkih dan lain-lain.
Menurut temuan arkeologi, bila dilihat dari tinggalan budaya yang ada di kawasan Astana Gede Kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah, klasik dan periode Islam
Bentuk transformasi budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik yang ditandai dengan adanya temuan punden berundak, lumpang batu, menhir, kemudian berlanjut secara berangsur-angsur ke tradisi budaya sejarah (klasik) yang ditandai dengan adanya prasasti, kemudian berlanjut ke tradisi  Islam yang ditandai dengan adanya makam kuna. Dengan demikian kawasan Astana  Gede merupakan kawasan yang menarik untuk dikunjungi.
Benda-benda Cagar Budaya yang ada di Astana Gede Kawali itu terdiri atas, punden berundak, menhir, prasasti, makam kuna, dan lain-lain. Juga mata air Cikawali yang tidak pernah kering sepanjang tahun.
Benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya ini memiliki peran yang penting dan berfungsi sebagai, bukti-bukti sejarah dan budaya, sumber-sumber sejarah dan budaya, obyek ilmu pengetahuan sejarah dan budaya, cermin sejarah dan budaya, media untuk pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya, media pendidikan budaya bangsa sepanjang masa, media untuk memupukan kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, dan sebagai obyek wisata budaya.

CIUNG WANARA

Bojong Galuh Karangkamulyan adalah sebuah nama yang cukup akrab untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis. Dikatakan akrab karena nama ini merupakan sebuah kawasan yang berupa  hutan lindung yang mengandung berbagai kisah yang berhubungan dengan kerajaan pada jaman dahulu. Masyarakat menganggap bahwa kawasan ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah dan putranya yang bernama Ciung Wanara. Dengan demikian muncullah sebuah cerita rakyat yang telah turun temurun sejak dahulu yaitu cerita tentang ihwal Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Permanadikusumah serta penerusny yaitu Ciung Wanara, yang dibumbui dengan hal yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak  dimiliki orang biasa. Hal ini dimaksudkan hanyalah untuk mengagungkan seorang raja yang mungkin dalam visi mereka raja adalah segala-galanya, istimewa dan terlepas dari segala kekurangan yang menjadikannya berpredikat  sebagai raja.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah seperti batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktrur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentunya hampir sama. Struktur bangunan itu memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada dalam struktur bangunan itu memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat didalamnya yang berada diluar  struktur batu. Nama batu merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah/cerita rakyat tentang Kerajaan Galuh seperti; pangcalikan atau  tempat duduk, lambang peribadatan, dikatakan lambang peribadatan mungkin karena bentuknya menyerupai sebuah stupa, panyandaan atau tempat melahirkan, berupa batu yang berdiri tegak lurus serta memanjang sehingga menyerupai tempat duduk yang ada sandarannya,  pengaduan ayam yang merupakan sebuah lokasi yang berupa dataran yang dikelilingi struktur bangunan, Sanghyang bedil, juga merupakan sebuah tempat yang dikelilingi oleh struktur bangunan, kemudian sebuah mata air yang di sebut Cikahuripan yang letaknya di sebelah dalam kawasan hutan lindung yang dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan.
Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa tempat ini mengandung keramat, mereka masih berpegang pada mitos yang cukup kuat tentang Ciung Wanara dan Permanadikusumah, sehingga banyak orang datang ke tempat ini dengan tujuan untuk mencari berkah.
Adanya cerita rakyat yang dihubungkan dengan benda-benda yang ada di kawasan Bojong Galuh Karangkamulyan ini telah membudaya di Kabupaten Ciamis, hampir semua orang mengetahui kisah Ciung Wanara serta batu-batu yang telah diberi nama itu merupakan tempat kegiatan pada masa  Kerajaan Galuh, sehingga apabila kita bertanya  kepada masyarakat mengenai tempat ini  tanpa ragu-ragu mereka akan menjawab bahwa tempat ini merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Galuh.
Keberadaan tempat  ini dapat kita lihat dari tiga sudut pandang bila dihubungkan dengan kedudukannya dengan waktu sekarang ini. Pertama dari sudut pandang sejarah, kedua cerita rakyat, ketiga sebagai obyek wisata.
Bila kita tinjau dari sudut pandang sejarah, memang kita tidak bisa menolak bahwa Kerajaan Galuh itu pernah ada serta nama yang disebutkan seperti tokoh Permanadikusumah dan Ciung Wanara itu adalah seorang raja yang memerintah pada masa Kerajaan Galuh sekitar abad ke-8 Masehi. Begitu pula mengenai tempat, hal ini mungkin saja terjadi  bahwa tempat ini merupakan bekas Kerajaan Galuh, seperti Lakbok juga daerah Cibeureum yang ada di Tasikmalaya, hal ini mungkin saja terjadi karena kerajaan pada jaman dahulu sering berpindah-pindah.
Sudut pandang kedua adalah cerita rakyat yang telah lama turun temurun. Hal ini  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di Kabupaten Ciamis sebagai kekayaan budaya yang keberadaannya tidak terlepas dari berbagai mitos yang dihubungkan dengan yang sekarang ini disebut sebagai situs yaitu tempat yang diduga mengandung sejarah.
Sudut pandang ketiga adalah kedudukan situs Bojong Galuh Karangkamulyan ini adalah sebagai obyek wisata, sesuai dengan sebutan sebagai obyek wisata, tempat ini banyak dikunjungi sebagai tempat rekreasi  yang menyenangkan, karena tempatnya sejuk dan nyaman serta letaknya sangat strategis, yaitu berada di jalur jalan raya yang menghubungkan Ciamis dengan Banjar. Disamping itu, tempat ini dilewati oleh kendaraan menuju tempat yang lebih jauh lagi seperti Jawa Tengah, karena merupakan jalan protokol. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada penjelasan selanjutnya yang akan diuraikan di muka.

Kerajaan Galuh dalam Sejarah

Kerajaan Galuh pertama kali didirikan oleh Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, akan tetapi belum ada keterangan yang pasti mengenai letak Kerajaan Galuh tersebut, namun ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Cibeureum, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya tepatnya di Desa Cibeureum Kecamatan Manonjaya. Sementara itu pendapat lain mengemukakan pula bahwa pusat Kerajaan Galuh terletak di Desa Citapen Kecamatan Rajadesa Kabupeten Ciamis. Ditempat ini ditemukan sebuah peninggalan purbakala berupa dinding batu yang cukup tinggi berada di sebuah tebing di pinggir kali sungai Cijolang. Pada dinding batu tersebut terdapat beberapa catatan berupa garis-garis berupa sebuah sandi, namun sampai saat ini belum diketahui apa maksud coretan tersebut. Ada lagi pendapat yang mengemukakan bahwa Kerajaan Galuh berpusat di Purbaratu, kemudian di Lakbok dan Karangkamulyan, yang kesemuanya memiliki peninggalan purbakala.
Wrettikandayun gemar menimba ilmu pengetahuan, ia diwarisi kitab yang disebut Sanghiang Watangageung oleh ayahnya. Kemudian ia bersama ayahnya yakni Kandiawan dan dua orang adiknya yang bernama Sandang Gerba dan Katungmaralah,  membuat sebuah kitab yang diberi nama Sanghiang Sasanakerta.
Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir.
Setelah Wrettikandayun wafat, tahta kerajaan tidak diteruskan oleh putra sulungnya karena putra sulung tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya tanggal, oleh karena itu maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh, Sempakjaya memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan Pwah Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi peristiwa yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya dengan adiknya sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu bermula dari adanya acara perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.
Putra kedua Wrettikandayun yang bernama Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan siapa Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa atau terkenal dengan sebutan Balangantrang.
Putra ketiga dari Wrettikandayun merupakan orang yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja, sebab tidak memiliki cacat tubuh. Ia adalah Mandiminyak.

Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak

Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha. Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya.. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutan Perkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.

Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa

Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara  Mandiminyak dan Pwah  Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang  dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora

Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari  perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.
Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.

Kerajaan Galuh  Pada Masa Sanjaya

Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu  Prabu Tarusbawa pendiri Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.
Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah meninggal dunia. Hasil perundingan itu meneapkan bahwa:
Keterangan I :
  1. Negara Sunda wilayah sebelah Barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
  2. Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada  Sri  Demunawan.
  3. Medang di Bumi Mataram diserahkan  kepada Sanjaya.
  4. Jawa timur diserahkan kepada Prabu Iswara.
Keterangan II :
  1. Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
  2. Galuh dan Sunda diserahkan kepada  Tamperan.
  3. Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
  4. Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara  Narayana adik  Parwati Putra Maharani Sima.
Dengan demikian maka pulau jawa terbagi  atas empat bagian pemerintahan. Sanjaya yang disebut juga Rakaian  Jamri sekaligus menjadi penguasa kerajaan Galuh, Sunda, dan Kalingga, menyadari bahwa kedudukannya sebagai  penguasa di Galuh tidak disukai oleh orang-orang Galuh, oleh sebab itu dicari figur yang cocok untuk dijadikan penguasa di Galuh. Akhirnya Sanjaya menemukan figur yang dianggapnya cocok untuk memerintah di Galuh yaitu Adimulya Permanadikusuma Cucu dari Purbasora.

Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma

Nama Adimulya Permanadikusuma atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal  di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa pemerintahan Adimulya  Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.
Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka..
Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya membuat suatu strategi dengan  cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak  pertamanya yang bernama Ciung Wanara  baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.
Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya  Permanadikusumah yang  sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan

Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.
Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang. Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.
Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun  739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma, menyerang kerajaan  Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.
Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi  Banga yang pada waktu itu dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara  keduanya. Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan dengan  Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa  pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal ini telah diperhitungkan  oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan  turun tangan dan berhasil  melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan  dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah.

Kerajaan Galuh  Pada Masa Ciung Wanara

Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.
Ciung Wanara memerintah  selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung  Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan  manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya  dengan bertapa.
Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.

SITU LENGKONG ( Kisah Terjadinya Situ Lengkong )
 
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah situ  alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora” lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan disimpan di Museum Bumi Alit  yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan. Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir  Dayeuh Luhur ke Nusa Gede Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat  rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.

Data Teknis Situ Lengkong Panjalu

Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan  Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas permukaan laut.

Nusa Gede

Ditengah Situ Lengkong teerdapat pulau yang diberi nama Nusa Gede yang luasnya 9,25 Ha yang dulunya menurut cerita  sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu, sehingga situ merupakan benteng pertahanan  dan untuk mencapai tempat itu harus melalui jembatan yang di dalam babad Panjalu disebut Cukang Padung.
Sekarang Nusa Gede menjadi hutan lindung di bawah pengawasan  Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang didalamnya terdapat  cagar budaya dibawah lindungan  Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya kurang lebih 0,5 Ha dimana terdapat  makam penyebar Islam yang disebut Mbah Panjalu, yang menurut  Gus Dur adalah Sayid Ali Bin Muhamad bin Umar yang datang dari Pasai (Aceh/Sumatra). Sedangkan buku Babad Panjalu  di sebut Haring Kencana  Putra Borosngora dan menurut pakar sejarah Profesor DR Ayat Rohaedi adalah Wastu Kencana Raja Sunda Galuh yang berkedudukan di Kawali. Di dalam hutan terdapat 307 pohon yang terdiri dari 30 jenis.

Acara Nyangku (Asal-usul Upacara Adat Sakral Nyangku )

Dalam upacara sakral Nyangku, Museum Bumi Alit dan Situ Lengkong, satu sama lain saling berhubungan. Ketiga-tiganya merupakan tonggak sejarah terjadinya pergeseran keadaan sejarah Panjalu Lama ke Panjalu Baru.
Upacara adat sakral Nyangku juga merupakan peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada
Upacara adat sakral Nyangku pada jaman dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam agar rakyat Panjalu memeluk agama Islam. Upacara adat sakral Nyangku biasanya dilaksanakan setiap tahun satu kali yaitu pada bulan Robiul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin dan Jum’at.
Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”, yang artinya membersihkan. Karena salah mengucapkan orang Sunda maka menjadi “Nyangku”. Upacara adat sakral Nyangku adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.
Tujuan dari upacara adat sakral Nyangku adalah untuk merawat benda-benda pusaka supaya awet dengan tata cara tersendiri sebagai tradisi atau adat. Namun hakikat dari upacara adat sakral Nyangku adalah membersihkan dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Selain merawat benda-benda pusaka upacara adat sakral Nyangku juga bertujuan untuk memperingati maulud Nabi Muhammad SAW dan mempererat tali persaudaraan keturunan Panjalu.  

Pelaksanaan Upacara Adat Sakral Nyangku

Penyelenggaraan upacara adat sakral nyangku dilaksananak oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, instansi-instansi  yang terkait, LKMD, tokoh masyarakat, dan para Kuncen. Jalannya upacara adat sakral Nyangku dikoordinir oleh Yayasan Noros Ngora dan desa.
Sebagai persiapan upacara adat sakral Nyangku, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang maulud Nabi Muhammad Saw biasanya jaman dulu suka menyediakan beras sebagai bahan sesajen untuk membuat tumpeng. Beras tersebut harus dikupas dengan tangan dari tanggal satu Maulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan upacara Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makan raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberitahukan upacara kepada kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.
Kemudian dilakukan pengambilan air untuk membersihkan benda-benda pusaka dari tujuh sumber mata air: 1. Mata air Situ Lengkong, 2. Karantenan, 3. Kapunduhan, 4. Cipanjalu, 5. Kubangkelong, 6. Pasanggrahan dan 7. Kulah Bongbang Kancana. Pengambilan air dilakukan oleh kuncen Bumi Alit atau petugas yang ditunjuk. Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri dari tujuah macam dan ditambah umbi-umbian, ke tujuh macam itu adalah: 1. ayam panggang, 2. tumpeng nasi merah, 3. tumpeng nasi kuning, 4. ikan dari Situ Lengkong, 5. sayur daun kelor, 6. telur ayam kampung dan 7. umbi-umbian. Selain itu juga ditambah tujuah macam minuman yaitu : 1. kopi pahit, 2. kopi manis, 3. air putih, 4. air teh, 5. air mawar, 6. air bajigur, dan 7. rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan dalam upacara adalah sembilan payung dan kesenian Gemyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum upacara adat sakral Nyangku dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara Mauludan untuk memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dengan susunan acara biasanya:
  1. Pembuka,
  2. Pembacaan ayat suci Alqur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berzanzi,
  3. Penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Boros ngora yaitu Bapak H. Atong Cakradinata,
4.   Sambutan-sambutan.
  1. Wakil dari pemerintah daerah
  2. Sesepuh Panjalu
  3. Kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis
  4. Uraian Maulid Nabi.
  5. Do’a dan tutup dilanjutkan dengan acara kesenian Gemyung yang dilaksanakan semalam suntuk sampai pukul 03.00.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat kerajaan, para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora berjalan beriringan menuju Bumi alit, tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan sholawat Nabi Muhammad SAW, kemudian benda pusaka yang sudah dibungkus dengan kain putih mulai  disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pembersihan.
Perjalanannya dikawal oleh  peserta upacara adat serta diiringi dengan musik gemyung dan bacaan sholawat Nabi. Benda-benda pusaka diarak kurang lebih sejauh1 Km menuju Nusa Gede Situ Lengkong. Pada upacara Nyangku selain diiringi oleh musik gemyung juga didiringi oleh upacara adat. Barisan pembawa bendera umbul-umbul, penabuh gemyung dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan dengan para pembawa bendera pusaka.
Kemudian setelah sampai di Situ Lengkong dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal oleh perahu sebanyak 20 buah, kemudian diarak kembali menuju bangunan kecil yang ada di Nusa gedeberupa bangku yang beralaaskan kasur yang khusus dibuat untuk upacara Nyangku. Benda-benda pusaka kemudian disimpan di atas kasur tersebut dan satu persatu mulai dibuka bungkusnya lalu diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh H. Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan  dengan air dari tujuh sumber memakai jeruk mipis. Yang pertama kali dibersihkan adalah pedang Sanghyang Boros Ngora. Setelah selesai dicuci lalu dioles minyak kelapa yang dibuat khusus lalu dibungkus dengan cara melilitkan zanur (daun Kelapa muda) kemudian dibungkus kembali dengan kain putih  yang terdiri dari tujuh lapis, kemudian memakai tali dari benang boeh dan  dikeringkan dengan asap kemenyan, setelah itu disimpan kembali di Bumi alit.
Pelaksanaan upacara adat sakral Nyangku tidak selamanya dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tergantung situasi dan kondisi. Namun walaupun dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tetapi tidak mengurangi kesakralannya. Kadang-kadang sebelum rombongan datang ke bale desa, diadakan penjemputan dengan karesmen adat seolah-olah yang datang itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh berbagai kesenian diluar kesenian Gemyung. Bahkan di alun-alun seminggu sebelum hari H, Nyangku sudah ada kegiatan pasar malam.
Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat sakral Nyangku adalah diantaranya sebagai berikut:
  1. Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam.
  2. Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam
  3. Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana.
  4. Keris komando senjat bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando.
  5. Keris pegangan para Bupati Panjalu.
  6. Pancaworo senjata perang
  7. Bangreng merupakan senjata perang
  8. Gong kecil alat  untuk mengumpulkan rakyat dimasa yang dulu
  9. Semua Benda Pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada dimasyarakat Panjalu.
Bumi Alit

Bumi Alit merupakan suatu bangunan tempart enyimpanan benda-benda pusaka kerajan  sewaktu Kerajaan Panjalu  berdiri sampai sekarang. Letak Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong, tempatnya terletak dekat terminal Panjalu. Bumi Alit yaitu suatubangunan kecil yang ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama “Pasucian”. Nama pasucian diberikan oleh pendirinya yaitu seorang Raja Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora atau Syeh Haji Dul Imam, yang merupakan Raja Panjalu yang memeluk agama Islam.
Bumi Alit atau pasucian pada awalnya terletak di Buni Sakti, kemudian dipindahkan ke Desa Panjalu oleh Prabu Sanghyang Boros Ngora bersamabenda-benda pusaka Kerajaan Panjalu.
Bentuk Bumi Alit yang lama masih berbentuk tradisional,  tenmpatnya masih berupa tanaman lumut yang dibatasi oleh batu-batu besar. Sedangkan disekelilingnya dipagari oleh tanaman waregu, di tengah tanaman itu berdiri bangunan  Bumi alit yang berukuran besar. Bangunan yang dulu terbuat dari kayu, bambu dan ijuk, bawahnya bertiang tinggi, badan bangunan berdinding bilik sedangkan atapnya dari suhunan ijuk berbentuk pelana. Ujung bungbung  menciut berujung runcing dan ditutup dengan papan kayu berukir. Pada sisi bagian barat terdapat pintu kecil yang depannya terdapat tangga kayu yang kuat dari kayu balok tebal.
Bumi Alit yang sekarang ini adalah hasil dari pemugaran pada tahun 1955 yang dilaksanakan oleh warga Panjalu dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka, Alm.
Sedangkan bentuk bangunan Musium Bumi Alit yang sekarang ini adalah campuran bentuk modern dengan bentuk masjid jaman dahhulu yang beratapkan  susun tiga. Pintu masuk ke Musium Bumi alit terdapat patung ular bermahkota dan dipintu gerbang atau gapura terdapat patung kepala gajah.
Pemeliharaan Musium Bumi Alit dilakukan oleh pemerintah desa Panjalu  dibawah pengawasan Departemen  pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Ciamis.

Siloka

Berbicara tentang siloka memang orang-orang jaman dahhulu sering segala sesuatu  pepatah dinyatakan dengan siloka.
Contoh:
  • Ø Gayung Bungbas adalah siloka diri manusia seperti Rusa/Gayung Bungbas. Bila pagi-pagi diisi  makanan, sorenya akan kosong. Ia (terbuang airnya) dan akan minta diisi lagi. Bila hidup hanya untuk makan/memuaskan nafsu tidak akan ada puasnya, manusia jadi rakus dan kosong tiada arti. Agar hidup jadi berarti, orang mesti beragama, beriman, berilmu, beramal baik/beramal soleh.
  • Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
  • Ø Gayung Bungbas dapat penuh dengan air zamzam, berarti isilah diri dengan agama/kesucian.
  • Ø Situ Lengkong yang berasal dari air zamzam, dijadikan Benteng keraton, mengandung siloka yang berarti: “Tiada penangkal hidup yang baik, kecuali kesucian, yaitu suci di dalam hati, suci dalam ucap, suci dalam perbuatan dan suci dalam makanan dan pakaian”.
Pengalaman Prabu Anom Syang Hyang Borosngora sendiri sewaktu muda dimana beliau telah memiliki berbagai ilmu gaib penangkal hidup, ternyata tidak mampu melawan ilmu ajaran Nabi yang dimiliki Sayidina Ali RA.
Dari situ lahirlah petuah Panjalu. Petuah yang bernapaskan Islam.
MANGAN KARNA HALAL, PAKE KARNA SUCI TEKAD – UCAP-LAMPAH – SABEUNEURE”
Prabu Syang Hyang Borosngora menjadikan Situ Lengkong tersebut untuk sumber air minum dan tidak boleh dikotori, bagi penduduk di kala itu, artinya orang Panjalu hendaklah berdarah air zamzam. Agar orang Panjalu berbakat suci, hidup dalam agama. Selain itu pula, gelar Syang Hyang Borosngora , adalah gelar siloka. Boros artinya Rebung yang tumbuh disela-sela induknya menerobos lapisan-lapisan tanah, sisa-sisa hutan belukar merupakan tatanan kehidupan lama, lalutimbuh dan berkembang, mengembang sebagai pembaharuan, membawa benih tatanan hidup baru yang lebih baik dan lebih maju.
Sejarah  Galuh maupun sejarah Panjalu kebanyakan mengambil data-data dari cerita rakyat yang ditulis atau diceritakan lagi oleh masyarakat secara turun temurun yang tulisannya maupun isinya rata-rata berbau mitos sesuai dengan jamannya.
Dari pengumpulan data-data yang dikimpulkan oleh penulis selama 10 tahun lebih, ternyata didapatkan bermacam-macam versi. Walaupun demikian, nama tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu hampir sama. Sedangkan yang membedakannya hanyalah cerita darimana tokoh itu berasal dan kapan memerintahnya.
Nama tokoh dimulai dari pendiri Kerajaan Panjalu yaitu Rangga Gumilang terus Lembu Sampulur, Cakra Dewa, Borosngora, Hariang Kencana sampai Bupati terakhir yaitu Rd. Cakradinata III.
Yang membedakan adalah asal usul tokoh tersebut, karena setiap cerita rakyat yang diceritakan masyarakat secara turuntemurun maupun cerita rakyat yang ditulis pada naskah kuno berrbeda kisahnya sehingga untuk menentukan tahun serta masa pemerintahannya sangat sukar dan akan berbeda pendapat.
Salah satu contoh untuk menetukan masa atau tahun berdirinya Kerajaan Panjalu apakah abad ke VII atau abad ke XIII  atau abad ke XV. Ini adalah tantangan bagi para ahli sejarah terutama akademika untuk terus menyelusurinya.

Para Raja dan Bupati Panjalu

1. Prabu Rangga gumilang
2. Lembu Sampulur putra Rangga Gumilang
4. Prabu Cakra Dewa
5.Prabu Borosngora
6. Hariang Kuning
7. Hariang Kencana
8. Dipati Hariang Kuluk Kukunang Teko
9. Dipati Hariang Kanjut Kandalikancana
10. Dipati Hariang Martabaya
11. Dipati Hariang Kunang Natabaya
12. Aria Sumalah
13. Aria Secamata (Aria Salingsingan)
14. Dalem Aria Wirabaya
15. Dalem Wirapraja
16. Rd. Tmg Cakranegara I
17. Rd. Tmg Cakranagara II
18. Rd. Tmg Cakranagara III

PANGANDARAN

Pangandaran sekarang  menjadi nama desa, nama kecamatan, nama kewadanaan, dan nama ibukota  Kecamatan Pangandaran. Kecamatan Pangandaran dengan jumlah penduduk 69.646, luas 14.132 Ha, didukung oleh hotel dan penginapan sebanyak 203 buah menjadikan daerah Pangandaran sebagai daerah pariwisata. Selain keindahan pantainya, Pangandaan memiliki Cagar Alam Pananjung, yang luasnya 530 Ha, di dalamnya terdapat gua-gua alam dan Situs Batu Kalde yang diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Pananjung pada abad sekitar 15.
Pananjung selain sebagai cagar alam dibawah pengawasan KSDA (Konservasi sumber Daya Alam) juga merupakan perlindungan terhadap binatang langka yaitu Banteng.
Pada tahun 1985 di Cagar Alam Pananjung ditemukan bunga bangkai yang disebut Rafflesia yang sekarang atas prakasa Bapak Bupati H. Dedem Ruchlia dijadikan Maskot  Kabupaten Ciamis yang sekarang berdiri megah di Taman bunga Alun-alun Ciamis.
Sebelum tahun 1985 ke Pangandaran selain menggunakan jalan aspal kita dapat menggunakan jasa kereta api yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1912.
Bermacam kenangan menurut orang tua yang pernah naik kerketa api mulai naik dari kereta api lokomotif sampai tahun 1970, dan diteruskan dengan kereta disel sampai tahun 1985.
Disamping terowongan , yang sangat unik adalah jembatan yang sangat panjang bagi ukuran di Jawa Barat, yaitu Cikacepit yang panjangnya 268,8 m, dan jembatan Panarekean yang panjangnya 270 m dengan ketinggian 62,6 m. Kenangan bagaimana di dalam terowongan selama beberapa menit yang gelap gulita dipakai oleh para penumpang sebagai kenangan yang tidak terlupakan. Pemandangan yang sangat indah mulai dari stasiun Kalipucang sampai Pangandaran, karena selain melewati lereng-lereng gunung yang menghijau  juga terlihat  hamparan Laut Hindia.
Kenangan itu akan diwujudkan kembali, karena mulai awal 1998 jalan kereta api yang sudah terhenti selama 15 tahun yang diakibatkan meletusnya  Gunung Galunggung pada ahun 1982 sedang dibangun kembali oleh PJKA bersama pemerintah daerah setempat.
Pangandaran adalah salah satu daerah wisata yang merupakan “basisnya” Ronggeng Gunung yang tersebar di beberapa desa.
Nama Pangandaran tidak tiba-tiba menjelma begitu saja tapi memang mengandung riwayatnya tersendiri yang lahir tanpa papan nama.
Menurut orang tua, hal ikhwal Pangandaran berasal dari kata Pangan dan Andar-andar. Sudah barang tentu yang namanya pangan adalah makanan, sedangkan andar-andar identik dengan orang pendatang baru. Jadi harfiahnya dalam logat Jawa “Wong golek pangan” atau mencari nafkah. Suku ‘an’ di sana bukan merupakan akhiran sebagaimana termaktub dalam EYD, melainkan hanya sebagai akibat yang tujuannya untuk memperlengkap nama saja yang acuannya untuk mempermudah sebutan supaya lebih komunikatif.
Nama Pangandaran sudah tidak asing lagi bagi kita. Pangandaran adalah suatu kawasan wisata yang potensial di Ciamis Selatan, Jawa Barat, yang merupakan sumber petro dollar sang primadona yang banyak meraup keuntungan.
Letak geografisnya sangat strategis dan menguntungkan, dan seperti umumnya daerah pantai, kehidupan utama masyarakat di sekitarnya adalah nelayan. Bahasa yang merupakan alat komunikasi sehari-hari jika ditelusuri atau ditelaah tercatat ada 3, yaitu (1) yang mendominasi adalah Bahasa Jawa, (2) Bahasa Sunda, dan (3) Bahasa “Jawa Reang” sebagai pengganti istilah bahasa campuran.  Namun uniknya kendatipun masyarakatnya berlatar belakang Jawa, tapi yang hidup dan telah memasayarakat adalah kebudayaan tradisional Seni Tari Sunda yang terkenal dengan sebutan “Ronggeng Gunung”. Seni lain yang ada di daerah itu di antaranya adalah Ronggeng Doger dan Ibing Tayub (keduanya sama sekali berbeda dengan ronggeng Gunung). Seni lain yang ada tapi tidak populer di daerah itu adalah Kuda lumping atau Ebeng, Sintren, Janeng, dan Wayang Kulit.

Simbol Penyatuan Galeuh Pakuan Pajajaran (Cap Kerajaan)



Simbol Penyatuan Galeuh Pakuan Pajajaran (Cap Kerajaan) (dok.pribadi)
Rasanya sudah cukup saya menyampaikan kegusaran hati selama ini. Berikut saya akan sampaikan beberapa info penting tentang situs-situs sejarah yang disertai dengan makam-makam leluhur. Tapi mohon maaf kalau info ini hanya terbatas kepada sejarah Sunda karena memang itulah yang saya mengerti. Saya berharap Kompasianers yang mengetahui tentang situs/makam sejarah leluhur dari daerah lain seperti Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Makasar, Batak, Bali, Sumba dan sebagainya bisa tergugah hatinya untuk memberikan informasi lewat tulisan di Kompasiana ini.

Pusaka Prabu Tajimalela ( Sumedang )

Para Leluhur Orang Sunda dan Makam-makamnya




Para Leluhur Orang Sunda dan Makam-makamnya

  1. Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)

  2. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor)

  3. Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)

  4. Syekh Maulana Yusuf (Banten)

  5. Syekh Hasanudin (Banten)

  6. Syekh Mansyur (Banten)

  7. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)

  8. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)

  9. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)

  10. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)

  11. Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)

  12. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)

  13. Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan garut)

  14. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)

  15. Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran

  16. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)

  17. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)

  18. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)

  19. Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)

  20. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)

  21. Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)

  22. Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)

  23. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)

  24. Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)

  25. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung

  26. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)

  27. Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)

  28. Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)

  29. Embah Sakti Barang (Sukaratu)

  30. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)

  31. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)

  32. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)

  33. Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)

  34. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)

  35. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang, Ciamis)

  36. Eyang Konang Hapa/Embah Wrincing Wesi (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  37. Embah Terong Peot/Batara Cengkar Buana (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  38. Embah Sanghyang Hawu/Embah Djaya Perkosa (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  39. Embah Nanggana (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  40. Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  41. Nyi Mas Ratu Harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)

  42. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)

  43. Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)

  44. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)

  45. Eyang Mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)

  46. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)

  47. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)

  48. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)

  49. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)

  50. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)

  51. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)

  52. Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)

  53. Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)

  54. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)

  55. Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)

  56. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)

  57. Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)

  58. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)

  59. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)

  60. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)

  61. Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)

  62. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)

  63. Gagak Lumayung (Limbangan Garut)

  64. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)

  65. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)

  66. Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung)

  67. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)

  68. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)

  69. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)

  70. Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)

  71. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)

  72. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)

  73. Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)

  74. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)

  75. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)

  76. Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)

  77. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)

  78. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang

  79. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)

  80. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)

  81. Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)

  82. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya

  83. Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)

  84. Uyut Demang (Tjikoneng Ciamis)

  85. Regregdjaya (Ragapulus)

  86. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)

  87. Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnegara)

  88. Embah Panggung (Kamodjing)

  89. Embah Pangdjarahan (Kamodjing)

  90. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)

  91. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)

  92. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)

  93. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)

  94. Embah Dugal (Tjimunctjang (

  95. Embah Dalem Dardja (Tjikopo)

  96. Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)

  97. Nyi Mas Larasati (Tjikopo)

  98. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)

  99. Embah Djaya Sumanding (Sanding)

  100. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)

  101. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)

  102. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)

  103. Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)

  104. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)

  105. Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)

  106. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek)

  107. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)

  108. Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)

  109. Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung Wangun)

  110. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, Pameungpeuk Sumedang)

  111. Embah Mangkunegara (Cirebon)

  112. Embah Landros (Tjibiru Bandung)

  113. Eyang Latif (Tjibiru Bandung)

  114. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)

  115. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)

  116. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)

  117. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)

  118. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)

  119. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)

  120. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)

  121. Darya bin Salmasih (Tjibiru Bandung)

  122. Mamah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)

  123. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)

  124. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)

  125. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)

  126. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)

  127. Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)

  128. Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)

  129. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)

  130. Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)

  131. Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)

  132. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)

  133. Embah Gabug (Marongge)

  134. Eyang Djayalaksana (Samodja)

  135. Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)

  136. Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)

  137. Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)

  138. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)

  139. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)

  140. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)

  141. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)

  142. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)

  143. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)

  144. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)

  145. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)

  146. Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)

  147. Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)

  148. Uyut Manang Sanghiang (Banten)

  149. Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)

  150. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)

  151. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)

  152. Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung)

  153. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)

  154. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)

  155. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)

  156. Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)

  157. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)

  158. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)

  159. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)

  160. Embah Durdjana (Sumedang)

  161. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)

  162. Nyi Mas Siti Rohimah/Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)

  163. Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)

  164. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)

  165. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)

  166. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)

  167. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)

  168. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)

  169. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)

  170. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)

  171. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)

  172. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)

  173. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)

  174. Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)

  175. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)

  176. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)

  177. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)

  178. Embah Djaga Laut (Pangandaran)

  179. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)

  180. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
Makam-makam diatas baru sebagian kecil saja yang bisa disampaikan. Masih banyak lagi situs sejarah dan makam keramat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Selasa, 12 Februari 2013

Makam Para Karuhun Sunda




Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor )
Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
Syekh maulana Yusuf (Banten)
Syekh hasanudin (Banten)
Syekh Mansyur (Banten)
Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan garut)
Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran
Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung
Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
Embah Sakti Barang (Sukaratu)
Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)

Eyang Konang Hapa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
Embah Terong Peot (dayeuh Luhur, Sumedang)
Embah Sayang Hawu (Dayeuh Luhur, Sumedang)
Embah Djaya Perkasa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
Nyi Mas Ratu harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)

Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor )
Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang)
Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya
Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
Regregdjaya (Ragapulus)
Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnrgara)
Embah Panggung (Kamodjing)
Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
Embah Dugal (Tjimunctjang (
Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
Embah Djaya Sumanding (Sanding)
Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek)
Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung wangun)
Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang)
Embah Mangkunegara ( Cirebon )
Embah Landros (Tjibiru Bandung)
Eyang latif (Tjibiru Bandung)
Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
Embah Gabug (Marongge)
Eyang Djayalaksana (Samodja)
Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
Uyut Manang Sanghiang (Banten)
Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung )
Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
Embah Durdjana (Sumedang)
Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
Nyi Mas Siti Rohimah/Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
Embah Djaga Laut (Pangandaran)
Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
sembah dalem wirasuta (Majalaya )
Embah Raja Peduni (majalaya)
Eyang santoan Qobul (Banjaran, bandung)
pangeran qudratulloh di gunung cabe / g. sunda pelabuhan ratu
prabu ciung wanara di belakang SMU 7 Bogor komplek Bantar jati
raden mbah jangkung kp. cilumayan – sisi cibereno , bayah – banten
Leluhur-leluhur dari pihak wanita.
Yang ada di situs Medang Kamulan Ciamis dan Situs Medang Kamulan di Gunung Padang Cianjur
1. Ibu Sakti Pertiwi Gilang Gumilang Herang
2. Ibu Ratu Siti Dewi Hasta
3. Ibu Ratu Siti Dewi Banjaransari
4. Ibu Ratu Siti Dewi Pohaci
5. Ibu Ratu Siti Dewi Ratna Nastuna Larang Lancang Kamurang Galuh Pakuwon
6. Ibu Ratu Siti Dewi Cakrawati
7. Ibu Ratu Siti Dewi Sekar Jagat
8. Ibu Ratu Siti Dewi Niti Suari Sunan Ambu
9. Ibu Sakti Pertiwi Dewi Poerbasari
10. Ibu Ratu Siti Dewi Cempo Kemuning
11. Ibu Ratu Siti Dewi Ayu Jendrat
12. Eyang Sepuh Tunggal Dewa Sinuhun Rama Agung
13. Eyang Sepuh Prabu Manikmaya
14. Eyang Sepuh Prabu Ismaya
15. Syech Sulton Jannawiyah
16. Sri Baduga Maharaja Prabu Wangi (Lingga Buana) – Kakek dr Sri Baduga Maharaja Siliwangi
17. Sri Prabu Dewa Naskala Ningrat Kencana (Ayahanda dr Prabu Siliwangi)
18. Hyang Makukuhun Wali Haji Sakti Galuh Pakuwon.
Syahdan menurut hikayat tutur kata para sepuh, setelah pada tahun 17 M Sri Panggung Pertama bergelar Sri Ratu Prabu Gung Binathara Adjar Kusuma Padangi menginjakkan kakinya di Gunung Padang dan mengukuhkan situs Salaka Domas maka kemudian Sri Panggung Pertama beserta keluarga dan bala tentaranya membuat keraton kerajaan di Gunung Padang yang diberi nama Medang Kamulan.
Sri Panggung Pertama bergelar Sri Ratu Prabu Gung Binathara Adjar Kusuma Padangi menikahi Siti Dewi Hasta yang bergelar Ratu Sindil karena menciptakan Kitab Sindil, dan memiliki putri Sri Ratu Dewi Nyi Mas Ayu Jendrat yang menciptakan Kitab Nila Sastra Ayu Jendrat yang dikenal sebagai kitab para Dewa dan memuat ajaran ajaran Pitutur (berisi tutur riwayat berdirinya kerajaan atau nagari) , Pituduh (berisi petunjuk aturan hidup dalam masyarakat) , Pibakalen (berisi pembekalan manusia dari lahir hingga proses kematian).
Sampurasun rampes. Neda maaf ka Gusti Pangeran nu Maha Agung nyuwun hampurakeun ka luluhur sepuh jeung pinisepuh nu kasebat Tataran Sunda
Eyang Dalem Cikundul putra dari Eyang Dalem Arya Wangsa Goparna dari Nangka Beurit Sagalaherang subang dimakamkan di Bukit Pasir Gajah Majalaya Cikundul beserta sanak saudara dan keturunan2 beliau termasuk Camat Cikalong Pertama dan Cicitnya yang Pendiri Silat Cikalong Eyang Mama Haji Ibrahim Djajaperbata Bin Dalem Aom Rajadiradja.

Eyang Surya Padang dimakamkan di seberangnya yaitu di Gunung Sawit beserta Eyang Sawit yang konon masih keturunan2 dari para prajurit Pajajaran yang hijrah akibat Islamnisasi dari Banten dan Cirebon. Eyang Gunung Jati alias Eyang Dalem Arya Kidul nu linggih di Bukit Babakan Jati Cianjur. Eyang Dalem Arya Cikondang alias Eyang Dalem Arya Adimanggala di makamkannya ada 2 karena beliau punya ilmu Panca Sona yang legendaris itu,untuk dari leher kebawah dimakamkan di tepi sungai cikondang dibawah pohon mangga di tengah2 sawah,kalau kepalanya ada di bukit cikondang dan tempatnya wingit & angker banget bagi yang ingin tirakatan.
Eyang Nurbaya Eyang Nurbayin dari Kadipaten Cibale Agung yang letaknya dekat jangari cianjur beliau merupakan abdi dalem disana yg pada waktu itu di pimpin oleh kerabat Eyang Dalem Cikundul yaitu keturunan dari adik ayah beliau yang bernama Panembahan Girilaya yang mempunyai putra bernama Eyang Lumaju Agung Dalem Marta yang merupakan pendiri Kadipaten Cibale Agung sebelum Kadipaten Cikundul dibentuk.

SEJARAH BANTEN

000ASAL MUASAL
Tidak banyak yang diketahui mengenai
sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa
ini, terutama pada masa sebelum
masuknya Islam. Keberadaanya sedikit
dihubungkan dengan masa kejayaan
maritim Kerajaan Sriwijaya, yang
menguasai Selat Sunda, yang
menghubungkan pulau Jawa dan
Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan
keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran,
yang berdiri pada abad ke 14 dengan
ibukotanya Pakuan yang berlokasi di
dekat kota Bogor sekarang ini.
Berdasarkan catatan, Kerajaan ini
mempunyai dua pelabuhan utama,
Pelabuhan Kalapa, yang sekarang
dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan
Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten
yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan
sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang
sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama Banten Girang atau Banten di atas sungai, nama
ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi
mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di
Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Peta Lokasi Banten Girang
800px-java-map2
Penelitian yang dilakukan di lokasi
Banten Girang di tahun 1988 pada
program Ekskavasi Franco Indonesia,
berhasil menemukan titik terang akan
sejarah Banten. Walaupun dengan
keterbatasan penelitian, namun banyak
bukti baru yang ditemukan. Sekaligus
dapat dipastikan bahwa keberadaan
Banten ternyata jauh lebih awal dari
perkiraan semula dengan ditemukannya
bukti baru bahwa Banten sudah ada di
awal abad ke 11 12 Masehi. Banten
pada masa itu sudah merupakan
kawasan pemukiman yang penting yang
ditandai dengan telah dikelilingi oleh
benteng pertahanan dan didukung oleh
berbagai pengrajin mulai dari pembuat
kain, keramik, pengrajin besi, tembaga,
perhiasan emas dan manik manik kaca.
Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional
sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India
000
Banten Girang : Pertapaan yang diukir di dalam bukit batu
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke
16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa
Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat
Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka
telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan
Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari
perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai
bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda.
Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas
ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan Hindu.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan,
memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten.
Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat
anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi
lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan
ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai
ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan
lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian
yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten.
Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang
pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk
menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota
Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi
Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir
Banten, di bawah pimpinan Francisco de S, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk
merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati,
penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak,
pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran
agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan
tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai
waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam
mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar
akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun
untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua
pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh
Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan
kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah
memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan
Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah
dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih
sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.

Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis


Batara Tesnajati

Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

Batara Karimun Putih

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu.
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

Prabu Sanghyang Cakradewa

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.
Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.
Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.
Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.
Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.
Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.
Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

Prabu Sanghyang Borosngora

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2) Rahyang Kancana.
Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati

Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).

Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA

Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).
Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara.

Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang

Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.
Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.
Pertemuan para raja di Gunung Rompang
Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.
Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.
Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari
RH Alit Prawatasari
Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.
Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.
Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis.

Prabu Rahyang Kuning

Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.
Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.
Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat.
Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek).
Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah).
Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh.
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.

Prabu Rahyang Kancana

Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.

Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko

Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana

Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya

Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

Prabu Rahyang Kunang Natabaya

Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2) Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.

Raden Arya Sumalah

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.

Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
Dua belas di antara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata "salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Raden Arya Wirabaya

Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.
Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis

Raden Tumenggung Wirapraja

Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara I

Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3) Raden Prajasasana, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.
Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
1) Raden Cakranagara II,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara II

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.
Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6) Raden Dalem Cakranagara III,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara III

Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten Panjalu.
Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.
Pada tahun itu Bupati Galuh Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah.
Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1) Raden Sumawijaya Demang Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu), penulis naskah Babad Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin (tersimpan di Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah.
Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

Raden Demang Sumawijaya

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1) Raden Aldakusumah,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Raden Demang Aldakusumah

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Raden Kertadipraja

Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
1) Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Aminah - Adkar (Cirebon),
3)Nyi Raden Hasibah - Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
4) Nyi Raden Halimah - Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
5) Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
6) Nyi Raden Aisah - Padma (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu)

Raden Hanafi Argadipraja

Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja, penulis catatan sejarah & silsilah Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah Suriaatmaja,
2) H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja,
3) Raden Galil Aldar Argadipraja,
4) Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.

Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.

Hj. Nyi Raden Siti Maryam

Hj. Nyi Raden Siti maryam(Panumbangan) menikah dengan Eyang Mad Syahri(Panumbangan, Cibonteng) dan melahirkan sembilan orang anak, Yaitu:
1)Raden Sasmita,
2)Raden Elon Dahlan,
3)Nyimas Raden Ipoh Saripah,
4)Raden Endah Dahri,
5)Nyimas Raden Erum Atikah,
6)Nyimas Raden Zaenab Sukarsih,
7)Nyimas Raden Khotimah,
8)Nyimas Raden Aisyah Rukmanah,
9)Raden Rosyadi,

Nyimas Raden Aisyah Rukmanah

Nyimas raden Aisyah Rukmanah (Panumbangan), menikah dengan Raden Ade Sutisna (Desa Golat). Dan melahirkan lima orang putra-putri, Yaitu:
1)Nyimas Raden Djohar Sry Kantini,
2)Nyimas Raden Nina Tursina Irania,
3)Raden Tepi Nugraha Jayaprana,
4)Nyimas Raden Rika Gartika Gumilar,
5)Raden Taufik Fitra Jaya Burnama,

Nyimas Raden Djohar Sry Kantini

Nyimas Raden Djohar Sry Kantini(Desa Golat) menikah dengan Raden Muhammad Syafe'i (Cianjur), dan melahirkan dua orang putra-putri, Yaitu:
1)Nyimas Raden Gitta Fenny Sari,
2)Raden Panji Fenitra,

Nyimas Raden Nina Tursina Irania

Nyimas Raden Nina Tursina Irania(Desa Golat) menikah dengan Hassan Ridwan(Jakarta) dan melahirkan tiga orang putra-putri, yaitu:
1)Raden Aldy Agustiar Ridmansyah,
2)Nyimas Raden Annisa Septiani Nur Faridah,
3)Nyimas Raden Azizah Zahra Ulfah,