Oleh : Dadang H. Padmadiredja
Selain itu ada juga kelompok masyarakat yang “biasa” berkomunikasi dengan Eyang Prabu yang digjaya ini, bahkan mereka secara rutin memberikan suguhan (sesajen) bagi mantan Raja Pakuan Pajajaran ini. Nama Prabu Siliwangi seakan masih hidup abadi sekalipun kerajaannnya hanya tinggal puing puingnya saja, salah satu diantaranya Prasasti Batutulis. Dari berbagai kelompok masyarakat atau perorangan yang mengklaim dirinya turunan langsung dari Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Urug. Kampung yang terletak di sebuah lembah yang subur ini masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Menurut Kokolot Kampung Urug Tonggoh Abah Rajasa atau sering dipanggil dengan Kolot Kayod, Sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan zaman Eyang Prabu ( Silwangi?) saat timbul tenggelam ( tilem) yang kurun waktunya 5 tahun. “Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian,” ujar Abah
Kayod. Cerita atau Sejarah yang dipahami Kayod berasal dari kokolot sebelumnya. Saat belum menjadi orang yang dituakan, Rajasa sama sekali tidak mengetahui riwayat Kampung Urug, sekalipun kisah ini selalu diceritakan setiap tahun saat Perayaan Seren Pataunan.
Kejadian serupa dialami Kokolot Urug Lebak, Abah Ukat yang baru setahun mengemban jabatan tersebut. Ukat sendiri sebelumnya seorang pedagang yang mencari nafkah di Pasar Leuwiliang. Masamudanya dihabiskan di luar Kampung Urug. Namun karena pergantian kokolot disana berdasarkan wangsit, jadilah ia orang yang dituakan di kampung yang konon katanya pernah ditinggali mantan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Soekarno.
Tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah (jasa ?) Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertamakali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia.
Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat. Yang masih sangat kental dan terlihat jelas atau yang membedakan budaya Kampung Urug dengan yang lainnya ialah adanya leuit atau lumbung padi di hampir seluruh rumah.
Mungkin inilah gambaran nyata dari sisa budaya Sunda baheula atau bisa jadi zaman Prabu Siliwangi masih jeneng. Namun hal ini juga sebenarnya masih menyisakan perdebatan, karena menurut Budayawan Sunda kahot, Anis Djatisunda yang tinggal di Sukabumi, budaya pertanian “urang Sunda” mah, ngahuma dan lebih cenderung berpindah pindah tempat.
Sementara budaya nyawah berasal dari Mataram. Sedang mengenai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, Almarhum H. Komaruddin budayawan yang rajin menulis di salah satu harian local Bogor, sebelum meninggal pernah mengatakan kalau yang dimaksudkan oleh masyarakat Kampung Urug adalah Prabu Nilakendra. Menurut Ki Marko, dilihat dari kurun waktu dan kesamaan pribadi Nilakendra yang sering jalan jalan atau ngalalana, sangat dimungkinkan bukan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Lepas dari itu semua, Kampung Urug saat ini masih menjaga kelestarian budaya Sunda Buhun selain yang disebutkan diatas diantaranya masih adanya Rumah Panggung tempat karuhun ngareureuh, dan kebiasaan lain yang merupakan cerminan di masa lalu.
Masuknya agama Islam ke Kampung Urug secara otomatis merubah pola hidup masyarakat setempat, meskipun masih ada sisa sisa “kebiasaan” karuhun yang dipertahankan. Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik terlihat dalam upacara Seren Pataunan. Ada anggapan “haram” hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama.
Zakatnyapun cukup besar tidak kurang dari 10 persen dari hasil taninya. Inilah mungkin yang membuat Kampung Urug tidak pernah terkena krisis ekonomi, seperti yang diungkapkan isteri mantan kokolot Adang (sebelum Kolot Ukat) bahwa dengan satu kali panen cukup untuk hidup selama 2 tahun. Padahal jenis padi yang ditanam adalah pare gede yang umurnya 6 – 8 bulan dengan hasil panenan tidak lebih dari 3 ton permasakali tanamnya. Satu hal yang tidak mungkin bila dihitung dengan matematik dan kurang masuk akal bila dikalikan dengan biaya hidup saat ini.
Dalam
bukunya, Saleh mengatakan bahwa pada tanggal itu terjadi pemindahan
pemerintahan dari Kawali, Ciamis ke Pakuan ( Bogor). Adanya penyatuan
Kerajaan Sunda Galuh dan Pakuan menjadikan, Prabu Dewata bergelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal
sebagai Prabu Siliwangi. Kebesaran Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu
tak lekang oleh zaman, bahkan saat inipun banyak sekali kelompok
masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan dari
Prabu Siliwangi
(seuweu siwi Siliwangi).Selain itu ada juga kelompok masyarakat yang “biasa” berkomunikasi dengan Eyang Prabu yang digjaya ini, bahkan mereka secara rutin memberikan suguhan (sesajen) bagi mantan Raja Pakuan Pajajaran ini. Nama Prabu Siliwangi seakan masih hidup abadi sekalipun kerajaannnya hanya tinggal puing puingnya saja, salah satu diantaranya Prasasti Batutulis. Dari berbagai kelompok masyarakat atau perorangan yang mengklaim dirinya turunan langsung dari Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Urug. Kampung yang terletak di sebuah lembah yang subur ini masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Menurut Kokolot Kampung Urug Tonggoh Abah Rajasa atau sering dipanggil dengan Kolot Kayod, Sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan zaman Eyang Prabu ( Silwangi?) saat timbul tenggelam ( tilem) yang kurun waktunya 5 tahun. “Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian,” ujar Abah
Kayod. Cerita atau Sejarah yang dipahami Kayod berasal dari kokolot sebelumnya. Saat belum menjadi orang yang dituakan, Rajasa sama sekali tidak mengetahui riwayat Kampung Urug, sekalipun kisah ini selalu diceritakan setiap tahun saat Perayaan Seren Pataunan.
Kejadian serupa dialami Kokolot Urug Lebak, Abah Ukat yang baru setahun mengemban jabatan tersebut. Ukat sendiri sebelumnya seorang pedagang yang mencari nafkah di Pasar Leuwiliang. Masamudanya dihabiskan di luar Kampung Urug. Namun karena pergantian kokolot disana berdasarkan wangsit, jadilah ia orang yang dituakan di kampung yang konon katanya pernah ditinggali mantan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Soekarno.
Tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah (jasa ?) Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertamakali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia.
Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat. Yang masih sangat kental dan terlihat jelas atau yang membedakan budaya Kampung Urug dengan yang lainnya ialah adanya leuit atau lumbung padi di hampir seluruh rumah.
Mungkin inilah gambaran nyata dari sisa budaya Sunda baheula atau bisa jadi zaman Prabu Siliwangi masih jeneng. Namun hal ini juga sebenarnya masih menyisakan perdebatan, karena menurut Budayawan Sunda kahot, Anis Djatisunda yang tinggal di Sukabumi, budaya pertanian “urang Sunda” mah, ngahuma dan lebih cenderung berpindah pindah tempat.
Sementara budaya nyawah berasal dari Mataram. Sedang mengenai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, Almarhum H. Komaruddin budayawan yang rajin menulis di salah satu harian local Bogor, sebelum meninggal pernah mengatakan kalau yang dimaksudkan oleh masyarakat Kampung Urug adalah Prabu Nilakendra. Menurut Ki Marko, dilihat dari kurun waktu dan kesamaan pribadi Nilakendra yang sering jalan jalan atau ngalalana, sangat dimungkinkan bukan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Lepas dari itu semua, Kampung Urug saat ini masih menjaga kelestarian budaya Sunda Buhun selain yang disebutkan diatas diantaranya masih adanya Rumah Panggung tempat karuhun ngareureuh, dan kebiasaan lain yang merupakan cerminan di masa lalu.
Masuknya agama Islam ke Kampung Urug secara otomatis merubah pola hidup masyarakat setempat, meskipun masih ada sisa sisa “kebiasaan” karuhun yang dipertahankan. Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik terlihat dalam upacara Seren Pataunan. Ada anggapan “haram” hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama.
Zakatnyapun cukup besar tidak kurang dari 10 persen dari hasil taninya. Inilah mungkin yang membuat Kampung Urug tidak pernah terkena krisis ekonomi, seperti yang diungkapkan isteri mantan kokolot Adang (sebelum Kolot Ukat) bahwa dengan satu kali panen cukup untuk hidup selama 2 tahun. Padahal jenis padi yang ditanam adalah pare gede yang umurnya 6 – 8 bulan dengan hasil panenan tidak lebih dari 3 ton permasakali tanamnya. Satu hal yang tidak mungkin bila dihitung dengan matematik dan kurang masuk akal bila dikalikan dengan biaya hidup saat ini.