Batara Tesnajati
Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia
mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara
Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Batara Layah
Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung
Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun
Putih.
Batara Karimun Putih
Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia
mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan
Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia
dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa
pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di
Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan
Gunung Sawal Panjalu.
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu
Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu
Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di
Cipanjalu.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I
Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.
Prabu Sanghyang Cakradewa
Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2)
Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah
seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu
menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja
menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan
singgasana dan menjadi Resi atau petapa (
lengser kaprabon ngadeg pendita).
Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu
Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu
Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati
kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi
berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku
sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu
kesaktian dan ilmu olah perang.
Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan
disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon
Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut
kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu
acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk
mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang
melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para
pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah
mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis
Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (
tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan
Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu
mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari
"Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai
ilmu sajati
atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa
yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan
air. Apabila sang pangeran telah menguasai
ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon,
dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus
mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu
arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada
Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati.
Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu
yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci
Mekkah,
Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.
Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang
ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi
Ilmu Sajati
yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran
menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda
di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang
dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria
tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan
tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah
berpasir.
Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa
mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang
dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu
hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda
pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu.
Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya
meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di
pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi
terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah
menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah
dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.
Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di
hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia
mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya
tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu
mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian
diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta
Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang
dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa
dicabut dengan mudah olehnya.
Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba
Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah
Dien Al Islam
(Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi
wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya.
Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini
kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau
dwisula),
dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga
menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan
ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil
menguasai
ilmu sajati dengan sempurna.
Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut
dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang
Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana.
Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan
memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan
menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur
II.
Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal
air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang
mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian
ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman
paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan
syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah
yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan
Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas,
Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang
menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan
kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam
yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat
Nyangku
yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi
ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A.
yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya.
Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk
memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa
masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang
Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan
kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah
dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka
Gunung Tampomas (Sumedang).
Prabu Sanghyang Borosngora
Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya,
ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama
Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad
Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar
Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda
pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan
dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan
dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2)
Rahyang Kancana.
Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya
dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan
senapati-senapati pilih tanding.
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (
Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati
Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama
Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang
gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada
tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang
bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang
Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya
itu atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru
di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di
Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang
Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan
adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa
dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata
kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu
lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan
lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa
tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu
Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).
Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA
Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A.
ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di
zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an)
sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan
Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama
Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732)
hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat
bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan
sahabat ayahnya, Sena (709-716).
Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai
keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada
tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati
Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari
Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran
masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang
pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya
menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu
bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para
Empu dan Pandai Besi di Nusantara.
Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang
Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh
Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang
adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai
Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri
keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian
Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu
agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara
Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau
Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi
Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti
nama menjadi Syarifah Mudaim.
Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan
memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah
air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang
beserta seluruh pengikutnya di
Leuweung Sancang (hutan Sancang di
daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi
Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai
Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.
Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur
Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai
Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang
Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama
Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang,
Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri
yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera
keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora
adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14
tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada
bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama
perjalanannya adalah 6 tahun.
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan
Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya
Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora
kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam
kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu
Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan
perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal,
nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan
(Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri,
Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah
terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung
Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang,
Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda,
Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana,
Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan
padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang
Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya.
Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia
dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat
Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah
turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja,
wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.
Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang
Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai
usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di
suatu tempat di tepi
sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas
perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke
Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan
Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau
Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal
sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa".
Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi
Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia
dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.
Pertemuan para raja di Gunung Rompang
Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan
Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur,
Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai
sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung
Rompang (dalam bhs. Sunda istilah
rompang menunjukan keadaan
senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena
terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir
berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50
tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi
rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal
dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia
dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh
Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para
raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam
usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya
seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang
disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang
Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk
sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.
Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan
bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri
Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada
Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri
ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.
Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari
Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang
juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu).
Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703
dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat
menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang
kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah
tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan
menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk
menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan
kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris
sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa
hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian
digiring terus menuju ke Bayabang.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan
wadya balad
(pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke
kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari
muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada
sekitar Januari di dekat Bogor.
Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang
tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati
oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di
Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil
mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya
melalui tiga kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC
menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH
Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin
bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama
enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit
Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar
Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di
Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.
Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap.
Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya
ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan
peziarah dari Ciamis.
Prabu Rahyang Kuning
Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora
menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama
Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat
didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning
kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang
Kancana.
Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa
Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:
ngabedahkeun).
Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah
Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu.
Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang
Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.
Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin
dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol
Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya
dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun
langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah
cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan,
Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan
telapak tangannya menghadap ke arah barat.
Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana
bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun
yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai
dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah.
Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air
itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi
tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan
sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs.
Sunda:
butut artinya jelek).
Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi
api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan
pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira
kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia
telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita,
akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara
Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning
bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban
yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah
ranca
(rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan
darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs.
Sunda:
beureum artinya merah).
Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji
Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu
Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah
menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada
Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah
selatan Galuh.
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis
Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan
Cibungur,
Desa Kertamandala,
Kecamatan Panjalu.
Prabu Rahyang Kancana
Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari
kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca
Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari,
sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1)
Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ
Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai
didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko
Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko
menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh
adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu
mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.
Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana
Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana
menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera
bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana
setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya
Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik
tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama
Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.
Prabu Rahyang Kunang Natabaya
Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta
Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas
adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau
Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643)
putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33).
Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan
Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati
Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2)
Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (
1586-
1601)
berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk
Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah
Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai
Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara
puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal
juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya
Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.
Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan
putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di
Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung
(1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran
Arya Sacanata.
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri
Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran
Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu
Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20
orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar
di tanah Pasundan.
Dua belas di antara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7)
Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun
1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai
Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan
Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12
Ajeg;
salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten
Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus
anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya
Sacanata mendendam kepada Mataram.
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga
Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti)
ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke
peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah
kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja
Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga
akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap
oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya
Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata "
salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan
kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri
di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh.
Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya
berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan
Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur,
Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di
Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di
Nombo,
Kecamatan Dayeuhluhur,
Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah.
Raden Arya Wirabaya
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (
1645-1677) pada sekitar tahun
1656-1657 wilayah
Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas
Ajeg
(daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati
Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung
Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis),
Kawasen (Ciamis Selatan),
Wirabaya (Ciamis Utara termasuk
Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka),
Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I
menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya
Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah
dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.
Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja,
setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu,
Ciamis
Raden Tumenggung Wirapraja
Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan
gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman
bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu
sekarang.
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara I
Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya
Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari
Cirebon, ia bersama kerabat dan para
kawula-balad (abdi dan
rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang
menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa
mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3)
Raden Prajasasana, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden
Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon
(1706-1723) yang menjabat sebagai
Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC
untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan
mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap
berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat
oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden
Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.
Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai
garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
1)
Raden Cakranagara II,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari
garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara II
Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati
Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya
yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan
gelar Raden Demang Suradipraja.
Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari
garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6)
Raden Dalem Cakranagara III,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara III
Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari
garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja
III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah
Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah
administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden
Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten
Panjalu.
Pada tahun 1819 ketika Pemerintah
Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal
G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (
1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk
menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh.
Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari
jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi
kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.
Pada tahun itu Bupati Galuh Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh
puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di
Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara
III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana)
Panjalu dengan gelar
Raden Demang Sumawijaya, sementara itu
putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden
Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar
Raden Arya Cakradikusumah.
Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1)
Raden Sumawijaya Demang Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu), penulis naskah Babad
Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin (tersimpan di
Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah.
Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan
di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu
Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.
Raden Demang Sumawijaya
Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu
dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden
Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana
Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya
mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1)
Raden Aldakusumah,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.
Raden Demang Aldakusumah
Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang
Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden
Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang
anak, yaitu:
1)
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera
Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu
(sekarang
Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV.
Raden
Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV)
setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.
Raden Kertadipraja
Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama
Raden Kertadipraja
tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian
dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah
kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak
bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915
Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi
Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan
empat orang anak yaitu:
1)
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Aminah - Adkar (Cirebon),
3)Nyi Raden Hasibah - Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
4) Nyi Raden Halimah - Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
5)
Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
6) Nyi Raden Aisah - Padma (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu)
Raden Hanafi Argadipraja
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu)
mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa
Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa
Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja,
penulis
catatan sejarah & silsilah Panjalu dalam bahasa Sunda
dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan
dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah Suriaatmaja,
2)
H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja,
3)
Raden Galil Aldar Argadipraja,
4)
Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.
Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni
Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.
Hj. Nyi Raden Siti Maryam
Hj. Nyi Raden Siti maryam(Panumbangan) menikah dengan Eyang Mad
Syahri(Panumbangan, Cibonteng) dan melahirkan sembilan orang anak,
Yaitu:
1)Raden Sasmita,
2)Raden Elon Dahlan,
3)Nyimas Raden Ipoh Saripah,
4)Raden Endah Dahri,
5)Nyimas Raden Erum Atikah,
6)Nyimas Raden Zaenab Sukarsih,
7)Nyimas Raden Khotimah,
8)
Nyimas Raden Aisyah Rukmanah,
9)Raden Rosyadi,
Nyimas Raden Aisyah Rukmanah
Nyimas raden Aisyah Rukmanah (Panumbangan), menikah dengan Raden Ade
Sutisna (Desa Golat). Dan melahirkan lima orang putra-putri, Yaitu:
1)
Nyimas Raden Djohar Sry Kantini,
2)
Nyimas Raden Nina Tursina Irania,
3)Raden Tepi Nugraha Jayaprana,
4)Nyimas Raden Rika Gartika Gumilar,
5)Raden Taufik Fitra Jaya Burnama,
Nyimas Raden Djohar Sry Kantini
Nyimas Raden Djohar Sry Kantini(Desa Golat) menikah dengan Raden
Muhammad Syafe'i (Cianjur), dan melahirkan dua orang putra-putri, Yaitu:
1)Nyimas Raden Gitta Fenny Sari,
2)Raden Panji Fenitra,
Nyimas Raden Nina Tursina Irania
Nyimas Raden Nina Tursina Irania(Desa Golat) menikah dengan Hassan Ridwan(Jakarta) dan melahirkan tiga orang putra-putri, yaitu:
1)Raden Aldy Agustiar Ridmansyah,
2)Nyimas Raden Annisa Septiani Nur Faridah,
3)Nyimas Raden Azizah Zahra Ulfah,